Merangkak maju di hari ketiga, gelaran fashion show JFFF 2014 pada hari Minggu tanggal 18 Mei 2014 membawa semangat bagi para desainer yang akan menampilkan sejumlah koleksinya pada hari itu. Didiet Maulana sebagai desainer yang sangat memperhatikan wastra bangsa, mendapat nomor pertama sekaligus menjadi fashion show pembuka di hari ketiga yang mengangkat kain lurik dan endek ke dalam koleksi yang diberi judul “Garis-Garis Budaya Nusantara”. Menempati Grand Ballroom Hotel Harris & Conventions, Ikat Indonesia by Didiet Maulana berupaya mengawinkan kain lurik asal Klaten dan Yogyakarta dengan kain edek asal Denpasar, Bali. Sebanyak 54 busana, Didiet tertarik mengangkat kain lurik yang identik dengan pola garis-garis yang mampu dibentuk menjadi motif geometris yang unik.

Dengan keahlian Didiet yang pernah mengenyam pendidikan bidang arsitektur, Didiet seakan tergelitik untuk membangun motif geometris yang dihiasi kerlip batu-batu kristal. Susunan kristal pun diperhatikan sedemikian rupa, sehingga tercipta sesuatu yang berbeda. Terdiri dari busana wanita dan pria, Didiet menawarkan sweater, jaket dengan bawahan celana panjang atau pendek dengan motif strip kain lurik yang berwarna-warni untuk busana pria. Sedangkan busana wanita, midi dress, celana panjang dengan zipper yang terbuka di mata kaki menjadi aksen tersendiri. Serta terusan berbelahan belakang kembali diperbarui.

“Siena Del Sur”atau Puteri Duyung dari Selatan menjadi tema besar yang menginspirasi Rafi Ridwan sebagai desainer termuda yang banyak menuai prestasi. Di mata Rafi sosok putri duyung menjadi salah satu karakter yang melekat kuat serta menjadi alasan Rafi merancang busana untuk pertama kalinya. Kepolosan Rafi kecil yang berkeinginan mendesain baju untuk putri duyung, membawa hikmah bagi Rafi yang kini menjadikannya desainer muda berbakat. Meskipun tokoh putri duyung lekat dengan alam laut berwarna biru, namun tidak demikian dalam 40 busana koleksinya. Di bawah kedalaman laut yang memiliki aneka warna terumbu karang, Rafi terinspirasi dengan warna merah dan jingga yang membentuk aksen ruffles seolah gelombang ombak sedang menari-nari. Tidak melupakan kain negerinya, Rafi pun memilih kain ikat bima dan tenun torso yang dibaur bersama motif bertema laut yang dibordir mirip kerang dan kuda laut.

Selanjutnya parade fashion persembahan IPMI yang mengkampanyekan kain negeri sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab untuk melestarikan kain warisan bangsa. Enam anggota IPMI di antaranya Carmanita, Mel Ahyar, Barli Asmara, Era Soekamto, Yongki Budisutisna, dan Yogie Pratama bersinergi menyatukan tujuan untuk mengangkat wastra agar terus hidup dan bernafas. Walaupun tenun menjadi primadona, batik pun masih menyimpan pesona yang dibuktikan oleh Era Soekamto, Carmanita dan Yongki Budisutisna. Di sisi lain, Yogie yang mengangkat Tenun Jepara, sedang bernostalgia flashback ke tahun 60an dengan mengangkat tema koleksinya “Ligne”. Sulam usus yang menjadi wastra asli Lampung mengilhami Mel Ahyar untuk menciptakan koleksi busananya, “Muli Wawai”. Masing-masing desainer berhak merancang delapan busana, yang memiliki ragam karakteristik yang berbeda-beda.

Teks: Mery Desianti
Foto: Vaesy

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP