Kebaya, Sukma Indonesia .Part 1

Foto Ray - Antheia Photography Busana Musa Widiatmodjo

Kebaya merupakan sebutan untuk pakaian tradisional khusus wanita, yang digunakan oleh sebagian masyarakat di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand Selatan, dan Birma. Namun hanya di Indonesia kebaya mengalami evolusi sedemikian rupa sehingga saat ini tampil dalam berbagai bentuk sesuai dengan budaya dan kebiasaan si pemakai.

Evolusi kebaya menjadi semacam revolusi bentuk dan teknik (desain) saat mendapat sentuhan dari para perancang busana yang memasukkan unsur-unsur tren mode dunia. Inilah yang saat ini dikenal sebagai kebaya modifikasi atau kebaya modern. Walau bentuknya sudah tidak lagi seperti kebaya, namun sebagian desainer dan para awam tetap menamakannya - walau salah kaprah – sebagai kebaya.

Foto dok.Istimewa

Ikhwal Kebaya
Dari mana asalnya? Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebaya berasal dari Timur Tengah atau Arab. Ini sangat mungkin karena kata kebaya sangat dekat dengan sebuah kata dalam bahasa Arab “abaya”. Jika ditilik dari etimologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal muasal sebuah kata, kata “abaya” berarti pakaian, yang kemudian berubah menjadi kebaya dan mengacu pada atasan tradisional wanita Indonesia, yang biasanya dipadu dengan sarung atau kain panjang.

Abaya sendiri diduga mulai berkembang di jaman Mesir Persia kuno yang kemudian berkembang ke Jazirah Arab, dan negara - negara Syam (Palestina, Libanon, Siria, dan Jordania). Berbentuk bujur sangkar yang disampir dan dibentuk dengan teknik tertentu menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga mata kaki, kecuali wajah, tangan, dan telapak kaki. Lalu, apakah abaya berevolusi menjadi kebaya? Rasanya muskil, karena dari evolusi struktur dan bentuk, tak tampak sedikitpun kemiripan atau adanya benang merah antara kebaya dan abaya.


Pengaruh Portugis
Pendapat lain mengatakan bahwa kebaya dibawa oleh wanita Portugis di abad XVI bersama dengan koloni kapal dagang Portugis yang mendarat di Malaka pada 1512. Menyebar ke Indonesia dari daerah Barat Indonesia menuju ke Timur. Konon diceritakan bahwa wanita Portugis di jaman itu mengenakan blus panjang berenda dengan bukaan bagian depan yang dipadu dengan rok panjang. Namun pendapat ini harus diperdebatkan kebenarannya karena pada jaman itu, wanita tidak diijinkan untuk berlayar. Apalagi kapal-kapal yang mencapai Malaka merupakan kapal penjelajah yang dipimpin oleh Alfonzo de Albuquerque dengan tujuan menemukan “dunia baru”.

Sebaliknya, mengutip tulisan di Wikipedia, “The name of Kebaya as a particular clothing type was noted by the Portuguese when they landed in Indonesia. Kebaya is associated with a type of blouse worn by Indonesian women in 15th or 16th century.” Berarti, ketika Portugis tiba di Indonesia, kebaya sudah ada dan dikenakan oleh wanita Indonesia pada saat itu. Dikatakan pula bahwa kebaya hanya dikenakan oleh permaisuri dan keluarga raja, perempuan bangsawan dan para perempuan priyayi. Sementara rakyat jelata hanya menggunakan kemben atau tanpa penutup dada sama sekali.

Foto Robby Suharlim Kebaya Era Soekamto

DADA TERBUKA, BETIS HARUS DITUTUP
Dijaman Indonesia klasik – di jaman peradaban Hindu Budha – tubuh bagian atas seorang wanita yang terbuka dianggap lumrah dan tidak menimbulkan kesan birahi. Justru tubuh bagian bawah yang harus ditutupi. Masih ingat dengan sejarah negara Singosari ketika Ken Arok kasmaran ketika tak sengaja melihat betis Permaisuri Ken Dedes karena kainnya tersingkap? Saking kasmarannya, ia pun tidak segan untuk membunuh sang Raja, Tunggul Ametung, hanya untuk memperistri Ken Dedes.

SUDAH DIKENAL DI AWAL ABAD MASEHI
Pada abad VI cara berpakaian masyarakat tradisional Cina diceritakan sudah tidak terlalu berbeda dengan apa yang disajikan pada film-film silat yang beredar. Para wanita mengenakan busana luar berbentuk kimono panjang semata kaki, memiliki bukaan depan, dipakai menyilang, berlengan panjang agak longgar, dan memiliki kelepak. Konon cara berpakaian seperti ini sudah dikenal sejak tahun 7000 SM. Namun bukti nyata mengenai cara berpakaian masyarakat Cina terdapat pada catatan sejarah dinasti Han (221 SM – 220). Pada jaman dinasti Tang (618) cara berpakaian masyarakat semakin berkembang dengan penggunaan bahan yang berbeda sesuai dengan kelas sosial masyarakatnya.


Lahir di Indonesia
Terakhir ada pandangan lain yang berpendapat bahwa kebaya sebenarnya lahir di Indonesia, terutama di Jawa kemudian berkembang ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Diperkirakan, proses penciptaan kebaya berawal dari pertemuan dua budaya besar saat itu, budaya Cina dan budaya Indonesia (Jawa).

Sejak abad VI, hubungan antara dua budaya ini sudah terjadi dan ini dibuktikan oleh catatan tertua mengenai kunjungan para pelaut Jawa ke daratan Cina yang tertulis pada catatan sejarah Dinasti Liang (502 – 507). Pertemuan dua budaya tersebut menghasilkan adaptasi budaya yang akhirnya menginterpretasikan busana tradisional wanita Cina menjadi busana yang cocok untuk masyarakat Nusantara, sesuai dengan gaya hidup masyarakat pada saat itu.

Dilihat dari bentuknya, sebenarnya kebaya memiliki kemiripan dengan “kimono” wanita tradisional Cina. Terutama kebaya panjang. Jika kimono – baik Jepang atau Cina - saling menyilang, maka kebaya memiliki bukaan di bagian tengah yang disatukan dengan bros, peniti, atau kancing.

Seiring dengan jaman, kebaya pun mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama saat Sriwijaya dan Majapahit mengalami jaman keemasan. Termasuk penggunaan selendang sebagai pelengkap kebaya yang konon dipengaruhi oleh budaya India (Hindu). Sejak saat itulah kebaya menyebar ke seantero Nusantara dengan berbagai penyesuaian budaya sehingga mengalami pengayaan bentuk. Di Jawa Sendiri kebaya tidak hanya terdiri dari kebaya panjang, kebaya pendek, kebaya kutubaru, kebaya Kartini, kebaya Sunda, Kebaya Madura. Lingkar lehernya pun semakin beraneka, ada yang persegi, berbentuk berlian, atau pun berbentuk huruf “V”. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam catatannya, ketika tiba di Indonesia, para pelaut Portugis sudah melihat para wanita tampil dengan kebaya.

Di daerah Sumatra, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi, dan sebagian Kepulauan Maluku evolusi kebaya tidak terlalu fenomenal jika dibandingkan dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Di Sumatra sendiri, kebaya panjang tradisional tidak mengalami perubahan bentuk hingga sekarang. Hal ini disebabkan karena masuknya pengaruh Islam, sementara pengaruh Hindu di pulau-pulau tersebut yang tidak terlalu kuat sehingga proses evolusi tersebut berhenti. Perlu diingat dalam ajaran Islam, wanita tidak diperkenankan memperlihatkan bentuk tubuh. Jadi tidak heran jika kebaya panjang di Sumatra, berbeda dengan kebaya panjang di Jawa, tidak berpinggang. Apalagi di jaman Islam, banyak sekali hubungan dagang dengan para pedagang Islam (Gujarat) dari India yang secara tidak langsung memperkenalkan busana yang sesuai dengan ajaran Islam. Saat itulah baju kurung mulai dikenal dan akhirnya populer hingga sekarang, terutama di Sumatra, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi.

Foto Dok.Istimewa

DARI MESIR SAMPAI KE SUMATRA
Baju kurung diperkirakan berasal dari jelabiya, baju longgar khas Mesir, terutama masyarakat Mesir yang tinggal di lembah sungai Nil. Dibawa oleh para pedagang Gujarat. Memiliki bukaan di bagian belakang atau tanpa bukaan dengan lingkar leher bundar yang di tengahnya terdapat belahan agar mudah mengenakannya. Dipakai para perempuan di Sumatra, sebagian Kalimantan dan Sulawesi.


Dipakai Noni Belanda
Ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia, terjadi lagi akulturasi budaya yang memperkaya tampilan budaya Indonesia. Bahan kebaya menjadi lebih variatif, tidak hanya berbahan dasar katun, tetapi juga mulai tampil dengan bahan sutra dan beludru. Terutama kebaya-kebaya yang dikenakan oleh keluarga Raja. Di daerah Indonesia Timur, akibat pertemuan dengan bangsa Portugis dan Spanyol, kebaya panjang tampil dengan renda dengan bahan dasar katun.

Kebaya semakin berkembang dan dirasakan mulai menampakkan jati diri sebagai busana khas Nusantara, saat diadopsi oleh para istri pejabat VOC. Oleh noni Belanda, kebaya dijadikan busana sehari-hari. Hal ini disebabkan karena kebaya dirasakan cocok sebagai pakaian di negara beriklim tropis namun lembab.

Kebaya para pejabat istri VOC ini terbuat dari bahan katun dengan hiasan renda warna putih. Perlu di ketahui bahwa di akhir abad XIX, pada 1872, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan bahwa setiap warga yang tinggal di daerah kolonialisasi Belanda, harus mengenakan busana sesuai kesukuan atau kebangsaannya. Pengecualian terjadi di Indonesia bagi para perempuan Belanda dan perempuan Indo Belanda. Mereka diperkenankan mengenakan kebaya dan sarung batik. Kebaya perempuan Belanda secara garis besar mengambil garis desain yang tidak jauh berbeda dengan kebaya lokal (terutama kebaya Kartini), namun biasanya terbuat dari bahan katun berkualitas tinggi berwarna putih dengan detil renda pada bagian bukaan depan, dan bagian depan dan belakang bagian bawah kebaya.

Menurut catatan sejarah, kebiasaan para perempuan Belanda berpakaian seperti ini sudah terjadi sejak akhir abad XVIII untuk kegiatan sehari-hari. Pada saat resmi mereka kembali mengenakan gaun panjang gaya Barat. Pada saat yang sama, perempuan Cina Peranakan masih menggunakan kebaya panjang (selutut) atau baju kurung dengan panjang yang sama, dipadu dengan sarung batik.

LAHIR DI INDIA, DIBAWA OLEH BELANDA
Bahan beludru pertama kali di kenal India, di daerah Cashmere, kemudian diperkenalkan di Italia, menyebar ke Eropa, dan akhirnya masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Sejak diperkenalkan beludru, para wanita kraton selalu menggunakan kebaya berbahan beludru dengan sulaman benang emas yang hanya dikenakan pada kesempatan khusus.

Foto Dok.Istimewa



Teks Anton Diaz



LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP