Labirin Kehidupan Marga Alam

Kehidupan layaknya sebuah labirin besar yang dipenuhi rongga jalan untuk dilalui. Uniknya, semua memiliki keterkaitan satu sama lain. Membuat apa yang dilakukan di waktu lampau memberi dampak dan meletakkan dasar untuk kini maupun masa depan. Seperti itulah buah renungan yang kami dapatkan saat berbincang dengan Marga Alam, desainer sekaligus pemilik label Marga Alam, Fashion, Bridal & Art Kebaya.

Sebab, jauh sebelum menjadi desainer kondang seperti sekarang ini, ia banyak melalui jalan berliku. Namun hal itu dilakoninya tanpa keluh. Berbagai profesi sempat dijalaninya, mulai dari penjahit, aktor film, model, adalah pengalaman hidup yang berharga dan tak ada yang terbuang percuma. Tanpa sadar, semua itu menuntun langkahnya untuk menggapai profesi sesuai kata hati, menjadi seorang desainer busana. Dan kini bila ditanya, insan mode atau fashionista mana yang tidak mengenal Marga Alam? Namanya merupakan jaminan akan keelokan seni rancang busana. Terlebih kebaya.

Desainnya selalu tampil dalam potongan klasik dengan detail dan aplikasi yang glamor. Inovasi desain kebaya Marga selalu original. Salah satunya seperti menyatukan dua unsur budaya Timur dan Barat, berupa kebaya berbentuk ball gown. Tak pelak kebaya Marga Alam kerap jadi incaran para pencinta kebaya dari berbagai kalangan. Dan hal itulah yang membuat tekad kami kian mantab untuk berjumpa dengan pria pemilik postur 180 cm ini. sesuai janji, akhirnya kami dapat menemui Marga di butiknya di bilangan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Ia berbagi kisah mengenai pengalamannya menapaki labirin kehidupan. Mencari jati diri akan sebuah cita-cita yang saat itu nampak samar di pelulupuk mata.

Saat itu selepas lulus Sekolah Menegah Atas (SMA), pria kelahiran Surabaya, 45 tahun silam itu memutuskan meninggalkan kota kelahirannya untuk merantau ke Jakarta. Selain nekat, bisa dibilang ia hanya berbekal semangat serta keyakinan impian untuk meraih kesuksesan. Sebab ia sendiri belum tahu, akan menekuni bidang apa di Jakarta. “Saya melangkah dengan sebuah ketidak pastiaan. Apakah ingin bekerja atau melanjutkah kuliah? Ujar Marga bercerita. Lebih kurang satu bulan tanpa aktivitas yang pasti, Marga mulai menata langkah yang akan ditempuhnya. Ia kembali menimbang, akan melanjutkan pendidikan atau bekerja? Bila memilih kuliah, tentu akan memakan waktu. Dan ia pun dipaksa harus kembali berkutat dengan buku-buku pelajaran. Mempelajari teori tanpa praktek, adalah hal yang kurang disukainya. Lantaran ia adalah tipe orang yang ingin lekas mengaktualisasikan pelajaran yang didapat dalam wujud sebuah karya. Sejurus dengan itu, kebingungannya kian bertambah tatkala dihadapkan pada pertanyaan mau menekuni bidang pekerjaan apa?

Akhirnya Marga mendapatkan ide cemerlang, yakni masuk sekolah jahit. Ia merasa hal itu yang paling pas dengan karakter dirinya. Mengapa? Karena usai sekolah ia bisa langsung mempraktekan ilmunya. Menjahit sebuah baju dan begitu rampung langsung dapat bayaran. “Ya, waktu itu pola pikir saya masih dangkal. Namanya juga anak baru gede (ABG), masih mencari jati diri dan belum punya tujuan hidup,” katanya sembari tertawa. Hollywood Modiste jadi pilihan Marga untuk menimba ilmu di bidang jahit-menjahit sekaligus mode. Dibimbing seorang guru asal Italia, ia belajar berbagai hal mengenai rancang busana. Mulai dari mengenal pola, membuat desain, teknik menjahit dan lain sebagainya. “Beliau begitu disiplin, hingga saya bisa cepat paham. Bahkan baru satu minggu belajar, saya sudah berani menerima order jahitan,” katanya tersenyum mengenang kenekatannya kala itu.

Marga memang benar-benar memaksimalkan peluang yang ada di hadapannya. Belajar sekaligus mencari rezeki di bidang jahit busana. Karena tidak memiliki peralatan, ia menfaatkan perangkat mesin jahit yang ada di sekolahnya itu. Dan baju order jahitan dijadikannya sebagai bahan praktek. “Keberanian itu muncul lantaran saya yakin bisa dan tidak mungkin salah. Kalaupun ada kendala, saya memiliki tempat untuk bertanya. Ya, itulah saya, keras kepala. Kalau sudah punya keinginan akan sesuatu harus tercapai. Kalau tidak harus dicari bagaimana caranya biar dapat. Itu prinsip saya dalam hidup. Tetapi tetap harus penuh perhitungan dan tidak boleh melampaui batas,” ungkap anak ke dua dari empat bersaudara ini.

Hatinya Berlabuh Pada Dunia Rancang Busana
Singkat cerita, selama menempuh pendidikan kemudian lulus dari sekolah mode Hollywood Modiste tahun 1988, Marga sempat mencicipi profesi yang mengantarkannya pada dunia fesyen tanah air. Di antaranya seperti bermain film di bawah arahan sutradara besar Teguh Karya. Kebetulan rumah tempatnya tinggal di kawasan Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta Pusat, bertetangga dengan sanggar milik Teguh Karya. Ketika suat hari berpapasan, Teguh Karya turun dari kendaraan dan menghampiri Marga. “Kamu itu calon bintang. Ada aura besar di mata kamu. Main ke sanggar saya ya,” ujar pak Teguh saat itu.

Tak enak menampik tawaran tersebut. Akhirnya Marga bertandang ke sanggar milik sutradara kondang itu. Di sana ia bertemu para pekerja seni yang sohor pada zaman itu. Sebut saja aktor Alex Komang, perancang busana Samuel Watimena dan lain sebainya. Kehadirannya disambut dengan baik. Meski sudah terlibat beberapa produksi film. Ia merasa panggilan jiwanya tidak pada dunia layar lebar. Tidak mau menyangkal kata hati, Marga berterus terang pada Teguh Karya. “Beliau sangat menghargai keputusan saya. Bahkan beliau malah memberi saya pekerjaan membuat kostum untuk film,” terang Marga.

Singkat kata, mantan Top Model Indonesia tahun 1989 ini, mulai mengawali karirnya lebih serius lagi di bidang fesyen, saat bergabung sebagai asisten desainer di Rudy Hadisuwarno Bridal dari tahun 1990 – 1997. Di sana ia banyak belajar mengenai berbagai detil teknik bridal. Membuatnya mahir, kemudian dikenal sebagai seorang desainer gaun pengantin internasional. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai kepincut pada kebaya. Debutnya dalam merancang busana nasional itu mulai meroket pada tahun 1995. Ketika itu, ia berhasil meraih juara umum tingkat ASEAN dengan menampilkan sesuatu yang revolusioner di jagad fesyen tanah air. Marga menciptakan busana pengantin barat yang dipadukan dengan unsur kebaya. “Pada suatu ketika saya mulai memberanikan diri untuk meluncurkan brand sendiri. Berbekal niat yang kuat untuk berkarya sekaligus beribadah, saya mengambil langkah ini,” tutur Marga. Ya, setelah tujuh tahun bekerja pada Rudy Hadisuwarno Bridal, di tahun 1997 ia memutuskan berhenti dan membuat label sendiri: MARGA ALAM, Fashion, Bridal & Art Kebaya, sebagai nama brand-nya.

Kekayaan alam dan budaya Indonesia, merupakan sumber inspirasi yang tak habis digali Marga dalam melahirkan rancangan kebaya. Ia pun gandrung akan keelokan rupa kain tradisional Indonesia. Tak heran pada beberapa karya Marga, seperti gaun malam, kita dapat menyaksikan kreasi padu-padan kain batik tradisional Jawa, Songket Palembang, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam merancang motif bordir untuk kebaya. Beragam motif bordir khas dari berbagai daerah di Indonesia selalu tertatah apik di sekujur busana nasional itu.

Ketika ditanyakan kok bisa terpikir akan hal itu, anak kedua dari empat bersaudara ini menjawab; “Namanya juga seniman, idenya bisa datang dari mana saja, dan dalam keadaan apapun,” ujarnya sembari tersenyum. Untuk itu tak henti-hentinya ia bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan ide yang begitu produktif dan seolah tanpa henti. Satu hal lagi yang tergelitik kami tanyakan, pernahkah seorang Marga Alam merasa jenuh dalam mendesain? “Saya mencintai pekerjaan saya. Kalau cinta itu kan pasti rindu. Jadi hal itulah yang selalu membuat saya tidak bisa berpisah lama pada pekerjaan saya. Kedepannya saya akan terus berkarya, menyajikan yang terbaik dan terbaik,” tutupnya mengakhiri pembicaraan.

Foto Adit Sastradipradja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP