Tepian Surga di New Zealand-Bagian 4

My TSS Earnslaw Journey
Setelah berpetualang di Sungai Shotover, ber-parasailing tinggi di udara, dan berkelana sambil berkuda di Glenorchy, tak lengkap rasanya jika mengunjungi Queenstown tanpa berlayar mengarungi Danau Wakatipu yang berair biru dan dingin ini. Dan di sore terakhir saya berada di kota ini, saya berkesempatan untuk menikmati sebuah pelayaran bersama dengan TSS Earnslaw, kapal uap berbahan bakar batubara yang telah lebih dari seratus tahun umurnya. Di seberang sana, Walter Peak High Country Farm telah menunggu saya dan penumpang lainnya untuk menikmati makan malam dengan berbagai menu panggang di Colonel’s Homestead Restaurant.

Berlayar mengarungi Danau Wakatipu dengan TSS Earnslaw untuk makan siang atau makan malam di Colonel’s Homestead Restaurant ternyata menjadi sebuah aktivitas yang sangat populer bagi para turis dari berbagai negara. Terbukti hampir semua biro perjalanan di Indonesia yang mempunyai paket tur ke Queenstown memasukkan kegiatan ini di setiap paketnya. Bagi saya, berlayar menuju kaki gunung Walter’s Peak di sore hari yang gerimis memberikan sebuah pengalaman tersendiri. Pelayaran selama sekitar tiga puluh lima menit mengarungi Danau Wakatipu penuh dengan keceriaan para penumpang yang sebagian besar peserta tur lanjut usia. Lagu-lagu nostalgia terdengar lewat dentingan piano dan suara sang penyanyi. Di dek luar, angin danau yang dingin menerpa tak henti-hentinya, menimbulkan riak tinggi yang menggoyang lajunya kapal uap ini.

Tak lama, sekitar dua ratus penumpang tiba di rumah berbentuk kolonial bernama Walter Peak High Country Farm dengan kebun-kebun bunganya yang teratur dan indah. Interior rumah dipercantik dengan berbagai hiasan dan foto-foto bersejarah keluarga Walter yang pernah tinggal di peternakan ini. Di Colonel’s Homestead Restaurant, kami menikmati berbagai menu makan malam panggang dengan daging sapi, domba, dan ayam Selandia Baru yang begitu fresh dan dipanggang langsung oleh para chef di depan para tamu. Sebuah makan malam yang memuaskan dan mengenyangkan.

Setelah makan malam, para tamu diundang untuk menikmati berbagai demonstrasi kehidupan sehari-hari para peternak domba di sebuah kandang besar. Mulai dari bagaimana anjing penjaga menjaga dan menggiring domba-domba untuk pulang ke kandang sampai sebuah demonstrasi cara mencukur bulu domba yang sangat menarik. Bulu-bulu yang menjadi bahan dasar kain wool ini ternyata mengandung minyak lanolin yang dapat menghaluskan kulit, sehingga tangan para peternak menjadi begitu halus.

Setelah puas menikmati santap malam dan berbagai acara menarik, para pengunjung berlayar kembali ke Queenstown untuk segera beristirahat. Bagi saya inilah sebuah pelayaran yang menutup berbagai pengalaman yang tak terlupakan selama saya berada di kota yang cantik ini.

E noho ra, Queenstown!

Testimonial Edward Suhadi
Waktu saya dan istri saya Francy untuk kedua kalinya gagal pergi ke Selandia Baru, kami berdua sudah hampir menyerah. Pertama karena masalah visa, padahal kami sudah berada di Sydney. Lalu yang kedua, karena Francy kena cacar air beberapa hari sebelum keberangkatan kami. Namun, ternyata ada berkat di balik musibah-musibah itu. Di kali ketiga, timbul ide untuk berkeliling menggunakan campervan, sebuah mobil yang dilengkapi dengan tempat tidur, dapur, dan juga kamar mandi.

Seperti kebanyak orang, ide ini pada awalnya terdengar gila dan termasuk golongan ide ‘cari penyakit’. Bagaimana kalau mobilnya mogok dan terpuruk lumpur? Bagaimana kalau ada penjahat dan perampok? Belum lagi kalau ada pengalaman-pengalaman mistis saat berhenti di tengah-tengah hutan. Lebih dari itu, setahu kami saat itu, kami adalah salah satu orang Indonesia pertama yang pernah melakukan perjalanan seperti ini, paling tidak begitu kata orang di tempat yang menyewakan campervan tersebut. Jadi tentu sja, kami tidak bisa bertanya-tanya kepada mereka yang sudah pernah melakukan ini.

Namun, keputusan yang kami ambil untuk tetap berangkat merupakan salah satu keputusan yang paling penting dalam hidup kami. Kenapa demikian? Menurut saya, pengalaman berkeliling dengan campervan ini membentuk dan mengokohkan mentalitas saya dan Francy bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bahwa banyak ketakutan yang kita miliki tidak pernah terjadi. Bahwa hanya pengalaman-pengalaman yang sebetulnya mengerikanlah yang akan layak kita kenang.

Sepuluh hari itu luar biasa! Saya masih ingat betul: supermarket tempat kami pertama kali berbelanja; tempat kami menginap pertama kali; pembuangan kotaran pertama kali; saat roda kami terjebak lumpur (untung hanya sekali saja); berbagai tempat kami berhenti untuk menikmati pemandangan, mengeluarkan BBQ grill kami dan memasuak rib-eye steak sambil ditemani segelas anggur.

Too many moments to tell!

Untungnya kami cukup rajin mendokumentasikan momen-momen itu dan waktu kami pulang, kami menjadikan sebuah film pendek yang cukup terkenal hingga hari ini. Google nama saya dan akan terpampang hasil ‘Edward Suhadi New Zealand’.

Oh ya, Selandia Baru adalah tempat yang paling tepat untuk sebuah pengalaman campervan. Atraksi utamanya adalah pemandangan yang luar biasa indahnya, bisa didapat dengan cuma-cuma. Tempat pembuangan kotoran dan pengisian air tersedia di seluruh pulau. Jalanan yang kosong dan stir kanan seperti di Indonesia. Tahun lalu saya campervaning juga bersama Francy di Canada, namun saya tetap merekomendasikan Selandia Baru sebagai yang pertama.

Pesan saya hanya satu: jangan takut. Tantang diri keluar dari zona nyaman. Pergi ke tempat-tempat yang orang jarang pergi, berkelanalah dengan metode-metode yang jarang orang coba. Pasti kamu pulang membawa segudang pengalaman yang bisa kamu ceritakan seumur hidup kamu!

Teks Iman Hidajat | Foto Iman Hidajat

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP