Edward Hutabarat Menggelar Pameran Lurik 'Tangan-Tangan Renta'

Kain peradaban, demikian sebutan Edward Hutabarat bagi kain tradisional seperti batik, tenun, dan lurik. Kain yang selalu hadir dalam setiap fase kehidupan manusia. Mulai dari lahir, menikah hingga tutup usia. Kekhawatiran pun hadir di hati Edward Hutabarat atau akrab disapa Edo melihat kain peradaban yang kian kemari mulai ditinggalkan. Sehingga Edo yang didukung penuh Bakti Budaya Djarum Foundation bersama Hotel Indonesia Kempinski, melebur menjadi satu menggelar sebuah pameran yang fokus mengangkat lurik dalam tema “Tangan-Tangan Renta”.

Di sela-sela press conference yang diadakan pada 23 Agustus 2017 di Nomz Kitchen & Pastry, East Mall - Grand Indonesia, Edo yang duduk di tengah diapit Renitasari Adrian (Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation) dan pihak Hotel Indonesia Kempinski tampak berlinang air mata. Ingatannya langsung berputar mengingat para pengrajin lurik di Sumber Sandang yakni perusahaan lurik tertua di Klaten dan perusahaan Kurnia Lurik yang banyak pekerjanya berusia tidak muda lagi. Bahkan ada seorang nenek yang berusia 90 tahun yang masih bekerja meski hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Rasa prihatin pada para pengrajin yang sudah sepuh yang tetap berdedikasi menenun lurik dengan sepenuh hati menjadi latar belakang diadakannya pameran yang tengah berlangsung sejak 23 – 28 Agustus 2017 di Plataran Ramayana, Hotel Indonesia Kempinski. Sudah saatnya “Tangan-Tangan Renta” berhenti bekerja yang dilanjutkan oleh generasi muda.

Pameran yang terdiri dari fotografi, videografi, instalasi (fashion dan living). Memajang berbagai kerajinan lurik berupa lembaran kain, jajaran benang-benang untuk membuat helai-helai lurik, pakaian jadi dari lurik seperti cape serta foto-foto para pengerajin dengan kegiatan menenunnya. Edo yang turut mengantar Triawan Munaf (Kepala Bekraf) berkeliling bersama rekan media menjelaskan satu persatu benda-benda yang dipamerkan. Satu di antaranya batal dengan sarung dari lurik yang bernilai estetika tinggi tapi harganya ekonomis. Kain lurik yang dijual sekitar 35 ribu per meter sangat terjangkau untuk dijadikan pakaian hingga produk rumah seperti sarung bantal tersebut.

Lurik yang begitu mudah beradaptasi di masa sekarang diterapkan juga oleh Edo pada koleksi busananya dari lini Part One Edward Hutabarat. Lurik yang biasa dipakai abdi dalem dianggap hanya diperuntukkan bagi kawula alit, bertransformasi menjadi busana modern yang trendi. Lurik yang bermotif garis dieksplorasi dengan berbagai macam warna serta teknik pola menyerong. Menawarkan koleksi busana wanita dan pria, Edo melansir busana wanita dengan siluet feminin seperti kemeja terusan oversize, dress dengan aksen lipit mengembang, serta dress dengan cutting belakang yang dibiarkan terbuka mengekspose punggung. Kesan hippie juga terasa ketika dress-dress tersebut dipadukan dengan topi jerami yang lebar dan sneakers.

Sementara pada koleksi pria, lurik-lurik dijadikan celana kulot dengan atasan lurik dari warna yang berbeda-beda membentuk patchwork. Outer juga menjadi salah satu look tanpa baju dalaman atau dengan kemeja dalam tanpa kancing.

Foto: Dok. Image Dynamics

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP