Hikayat Wastra Ranah Dewata-Bagian Pertama

Banyak yang beranggapan sesuatu yang berasal dari tradisi dan budaya, adalah sebuah hal yang ‘berat’ dan kuno. Padahal tidak selalu demikian adanya. Apalagi jika hal itu bersinggungan dengan dunia fashion yang merupakan sebuah area yang kaya akan kreatifitas dan bergerak dinamis. Tidak percaya? Kain batik contohnya. Siapa sangka motif batik yang berasal dari bumi nusantara ini, kemudian menjadi tren dalam berbusana beberapa waktu lalu. Bahkan mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-Bendawi.


Berbicara mengenai kain-kain adat, boleh dibilang Indonesia kaya akan hal tersebut. Bahkan, masing-masing daerah di bumi katulistiwa ini memiliki ragam dan corak kain yang berbeda-beda. Bali misalnya. Provinsi yang berjuluk pulau dewata ini, lebih kurang memiliki 12 jenis kain tenun yang memiliki rupa motif yang tidak mirip satu sama lain. Misalnya kain gringsing, songket, prada, cepuk, dan lain sebagainya.


Ya, selain seni tari dan seni musik, masyarakat Bali juga mengenal seni menenun. Seni mengolah kain (wastra) yang hingga kini masih dikerjakan secara tradisional, yakni melalui proses pemintalan, penenunan, hingga pembuatan motif yang sarat akan makna simbolis keagamaan. Sejatinya, kain tenun Bali tak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh semata. Kain-kain tersebut biasanya dipakai untuk keperluan upacara adat guna menghormati Tuhan, leluhur, atau bahkan menolak bala (petaka). Namun ada juga wastra yang memang dibuat sebagai keperluan upacara yang bersifat sosial. Bahkan ada pula kain jenis tertentu yang dipakai hanya untuk menghiasi tempat upacara di pura, rumah, atau pusat desa.


Hal yang bersifat religius itu mafhum di Bali, mengingat mayoritas masyarakatnya berkeyakinan bahwa berkesenian merupakan bentuk kreativitas ciptaan Ida Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Berdasarkan lontar Purana Bali, konon sumber inspirasi tumbuhnya seni tenun Bali, berawal dari turunnya Dewi Ratih ke bumi untuk mengajar masyarakat Bali menanam kapas dan mengolahnya menjadi kain atau wastra. Dan hingga kini, seni tenun yang dimulai sejak berabad silam itu pun terus berkembang. Tak jarang seni menenun ini tumbuh mengikuti akulturasi masyarakat setempat yang berpadu dengan budaya bangsa lain yang pernah singgah di pulau ini. Contohnya, seperti pengaruh bangsa-bangsa Asia, seperti China, India, hingga Eropa. Pertautan budaya inilah yang melahirkan karya seni tenun wastra Bali menjadi sangat beragam, baik dari segi warna maupun hiasan.


Dewasa ini, di Bali terdapat beragam jenis wastra yang dihasilkan dari teknik-teknik menenun yang kian berkembang. Mulai dari bentuk yang sederhana sampai yang rumit. Berikut ini beberapa wastra Bali yang masih terus berkembang dan dapat dijumpai hingga kini.

Berbagai Jenis Wastra/Kain Bali

Kain Songket. Songket merupakan istilah dalam teknik menambahkan bentuk pola pada selembar bahan. Caranya dengan mengisi benang tambahan. Pada zaman dahulu, kain songket biasanya dibuat dari benang sutera. Namun kini ada juga yang dibuat dengan padu-padan benag sutera dan kapas.

Kain Gringsing. Wastra (kain) jenis ini banyak berkembang di daerah Tenganan Pagringsingan dan Karangasem. Teknik yang diterapkan untuk membuatnya terbilang unik, dan hanya diterapkan di sedikit Negara. Sebut saja India, Jepang dan Indonesia. Tekniknya disebut tenun ikat ganda, yakni mengikat benang pakan dan benang lungsi untuk menghasilkan ragam hias dengan pola yang simetris dan siku. Wastra jenis ini biasanya dibangun dari benang kapas. Nama kain gringsing lainnya adalah grinsing cemplong, cempaka, dan senanempeng.

Kain Endek. Merupakan salah satu jenis wastra Bali yang sangat populer. Kain ini menerapkan teknik ikat yang berkembang khusus di Bali, yaitu penyempurnaan ragam hias ikat pada kain di bagian tertentu dengan tambahan coletan (nyatri). Ciri khas kain tersebut berupa motif berbentuk flora dan fauna, serta motif-motif yang bersumber pada mitologi Bali dan wayang. Kain ini biasa dibuat dalam bentuk kain sarung untuk pria dan kain panjang untuk wanita. Kendati sering digunakan untuk keperluan upacara adat, namun kini tak sedikit orang yang membuat kemeja menggunakan kain endek sebagai bahannya.

Teks: Teddy Sutiady
Foto: Sujanto Huang dan dokumentasi Rumah Pesona Kain

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP