Undang-undang Pernikahan Beda Agama

Foto: Freepik


Di Indonesia, pernikahan beda agama masih menjadi perbincangan masyarakat karena memang belum lazim untuk dilakukan. Makanya, masih banyak pasangan beda agama yang melakukan pernikahan di luar negeri terlebih dahulu, setelah itu barulah mereka melakukan pencatatan pernikahan di Tanah Air.


Sebelumnya, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan kini diubah menjadi Undang-undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Keputusan ini membuka peluang pencatatan pernikahan pasangan beda agama di Indonesia, namun tetap harus melakukan beberapa prosedur terlebih dulu.


Pertama, Anda harus memastikan pada agama masing-masing, apakah pernikahan beda agama sah di mata agama Anda. Pasalnya, di dalam agama Islam ulama sepakat bahwa pernikahan beda agama bisa dilakukan oleh pria beragama Islam dengan perempuan beragama Nasrani dan Yahudi saja.


Hal tersebut menjadi dasar Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu’. Sementara itu, ada lagi Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku.


Makanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga independen yang membimbing umat Islam di Indonesia memberi padangan bahwa pernikahan antara muslim dan non-muslim tidak diperbolehkan karena harus berdasarkan kepercayaan agama Islam. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 itu tidak mungkin dilakukan bagi pasangan beda agama.


Jika keabsahan pernikahan sudah Anda dapatkan, maka selanjutnya Anda bisa melakukan pencatatan pernikahan yang berpedoman pada UU Adminduk. Menurut Pasal 33 UU Adminduk, perkawinan yang ditetapkan pengadilan wajib dilaporkan. Pada huruf a pasal tersebut mengatakan pernikahan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.


Sedangkan untuk prosedurnya, ditetapkan dalam Pasal 34 UU Adminduk. Pelaporan pernikahan wajib dilakukan paling lambat enam puluh hari sejak tanggal pernikahan. Lalu, pejabat pencatatan sipil akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan Anda. Bagi pria yang beragama Islam, bisa melaporkannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) domisili Anda. Pasal tersebut sekaligus menjelaskan bahwa jika Anda beragama Islam, bisa melapor ke KUA sedangkan yang bukan beragama Islam bisa melapor ke kantor catatan sipil.


Sedikit catatan bagi pria yang beragama Islam yang menikahi wanita beragama Nasrani atau Yahudi, hanya bisa melapor jika pernikahan tersebut dilakukan dengan cara Islam. Aturannya ada di Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Jangan lupa untuk mematuhi semua peraturan ini, agar status anak dan ahli waris bisa sah menurut agama dan negara.

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP