When We Met
Gerimis hujan saat itu mengiringi jejak kaki kotor yang berselimut lumpur persawahan, hingga akhirnya berteduh di sebuah rumah beratap jerami yang dikelilingi tambak ikan. Saat itu sekumpulan orang yang senang sekali dengan arsitektur, akhirnya bisa melepas lelah sejenak. Semua terlihat antusias dengan kegiatan tur arsitek kala itu, semua saling berkenalan, dan bercengkrama dengan teman-teman baru, termasuk Adam, yang belum sadar bahwa momen di penghujung Januari 2009 saat itu akan membawanya mengawali perjalanan perjuangan hati yang sangat panjang.
“Nama saya Icha, dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) - Jakarta”, terngiang kembali ketika Adam dan yang lainnya sampai di tempat peristirahatan. Suara kecil dan lucu itu didengarnya cukup jelas sejak masing - masing saling memperkenalkan diri. Icha memang cukup menarik perhatian sejak awal kelompok itu berkumpul, Icha terlihat begitu ceria dan polos, awalnya Adam berpikir Icha masih duduk dibangku kuliah karena memang terlihat muda sekali, hati kecilnya saat itu berbaur dengan memori yang seakan-akan pernah ia lihat sebelumnya namun entah dimana, Adam tidak terlalu ambil pusing dengan perasaan itu.
Benar saja ternyata wajah Icha bukan kali pertama ia lihat di tur arsitek waktu itu, beberapa bulan sebelumnya senyuman wanita itu sempat dikaguminya, tepatnya saat Adam mengikuti acara open house salah satu karya arsitek ternama di bilangan Jakarta Selatan. Semakin lama, keduanya semakin sering berbincang lewat internet, obrolan pun semakin meluas, saling bertukar nomor hp, dan telpon-telponan. Adam sadar, antusiasme berbincang dengan lawan jenis kali ini sangat berbeda, tanda-tanda yang mulai ia sadari arti pentingnya.

Preparations
Suatu hari niatan itu terlontar dalam perbincangan santai dan memang nampaknya jalan semakin terbuka karena keduanya menjadi lebih tenang menjalani hubungan mereka. Keseriusan untuk melangkahkan kaki ke jenjang yang lebih sakral dibuktikan dengan lamaran secara empat mata di ketinggian ratusan kaki diatas sebuah gedung, 30 Mei 2010, sebuah cincin Adam sematkan di jari manis Icha sebagai tanda ketulusan niatnya untuk mengajak Icha menuju jenjang pernikahan.
Sejak hari itu keduanya semakin rajin mengurus segala persiapan pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari setahun. Adam semakin terperangah dan merasa begitu beruntung dikarenakan Damarisa Devita – nama lengkap Icha, ternyata berjalan satu langkah di depannya, Icha sudah bersiap – siap sejak lama, mulai dari mengumpulkan informasi katering, gedung, hingga kartu undangan. Berhubung keduanya sama-sama berdarah Padang, tak pelak lagi bahwa segalanya akan memakai Adat Minang.

Dari sekian pelaminan yang mereka survei di berbagai acara resepsi, Dinda Sakato dipilih karena sangat cocok dengan adat yang ingin mereka hadirkan. Hampir 80% persiapan dikerjakan oleh keduanya, dibantu juga oleh orang tua dan kerabat.
Salah satu yang paling mengesankan yaitu kesibukkan mengurus undangan dari desain hingga cetaknya. Suasana yang berbeda dilewati keduanya mulai dari rumah pelaminan Dinda Sakato yang begitu nyaman, kantor katering Mitra Wangi dengan pelayanannya ramah, gallery Fine Souvenir yang mewah hingga gang sempit percetakan undangan Pasar Tebet yang syarat akan calon-calon pengantin.
Sifat Icha yang perfeksionis akhirnya berbuah manis, keduanya terbebas dari segala persiapan sejak dua minggu sebelum hari H, jadi cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri masing - masing, menjaga kesehatan agar terlihat segar nantinya. H-1, keduanya mempersiapkan hati sebaik- baiknya, makan yang cukup dan istirahat lebih cepat, karena besok prosesi dimulai dari pagi hari pada pukul 8.
D Day
Pagi itu cerah sekali, 20 Februari 2011, Adam berbaju putih gading diapit kedua orangtuanya yang berpakain krem. Rombongan menuju mesjid Nurul Iman Departemen pertanian dimana didepan mimbarnya sudah menunggu penghulu dan para kerabat, suasana sakral pun dimulai. Adam menggenggam tangan calon mertua, Icha terlihat tenang dan anggun dengan kebaya yang di desain spesial oleh kenalannya, saksi-saksi nampak hikmat menunggu dan lantunan ijab qabul pun terlontar.
Acara akad nikah berjalan lancar dan doa dipanjatkan mengantarkan Adam dan Icha menjadi sepasang suami dan istri. Tukar cincin, sungkeman, foto bersama telah selesai, dan keduanya beranjak menuju panggung resepsi yang letak gedungnya tidak jauh dari mesjid tempat keduanya mengadakan akad nikah, Auditorium Gedung F Deptan.
Saat Icha sedang dikarantina untuk mengganti riasan, diwaktu senggang kala itu Adam menyempatkan diri untuk melihat ruangan resepsi. MitraWangi nampak menyatu dengan pelaminan Dinda Sakato dalam mempersiapkan dekorasi, mereka terlihat bagaikan satu tim, rasa senang terlintas ketika melihat segalanya tampak segar, merah maroon dan gold yang tertata megah menawan. Adam merasa sangat puas dengan semua pelayanan yang telah diberikan oleh para vendor untuk hari istimewanya itu.

Pukul 11.15, kedua mempelai memasuki gerbang masuk auditorium, diiringi riuh suara gendang tabuik ala Padang. Nampak lorong pagar bagus – among – bernuansa gold berdiri tegap di sisi kiri dan kanan. Berjalan di hamparan karpet merah, begitu tegang namun menyenangkan pikirnya. Sampailah keduanya di tempat duduk pengantin dan dimulailah acara resepsi.
Sedikit gugup tentunya, karena biasanya mereka hanya melihat kursi pengantin dari kejauhan dan hanya berjalan melewatinya, kini keduanya yang duduk disana, campur aduk rasanya karena semua mata memandang. Suasana pesta yang begitu ramai namun tetap khidmat sedang mereka jalani.
Sungguh suatu peristiwa paling menyenangkan yang pernah terjadi khususnya untuk Adam dan Icha saat itu. Keduanya bersyukur dan berterima kasih sekali kepada teman-teman panitia dan saudara-saudara yang membantu sepenuh hati serta rekan-rekan tim pelaminan Dinda Sakato, MitraWangi katering dan LightBrush fotografi atas kerjasamanya dan pelayanannya yang sangat memuaskan pada hari indah tersebut. Dan yang terpenting atas izin Nya segalanya berjalan baik tanpa kekurangan sesuatu dan tanpa hambatan yang berarti.