Kain Negeri Membuka Fashion Show JFFF 2016

Setelah Gading Nite Carnival yang digelar pada 23 April 2016 sebagai pembuka keseluruhan rangkaian acara Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) 2016. Selanjutnya masih dalam rangkaian JFFF 2016, pada tanggal 4 Mei 2016, peragaan busana bertema Kain Negeri Indonesia Barat membuka rangkaian fashion show yang digelar di Ballroom Harris Hotel.

Enam desainer papan atas Indonesia berpartisipasi dalam opening show ini, menampilkan kreasi terbaik mereka dalam mengangkat wastra adati dari wilayah Indonesia bagian barat. Memberikan inspirasi bagi para pecinta fashion untuk mencintai dan mengenakan wastra Nusantara. Mereka adalah Chossy Latu, Didi Budiardjo, Ghea Panggabean, Hian Tjen, Itang Yunasz, dan Priyo Oktaviano.

Didi Budiardjo sebagai pemrakarsa, bercerita pada press conference yang digelar sebelum show mengenai pemilihan Indonesia Barat sebagai tema. Berawal dari Priyo Oktaviano yang mengangkat kain Lurik asal Kediri, tanah kelahirannya, Didi pun terinspirasi untuk mengangkat wastra Nusantara dari Indonesia bagian barat sebagai tema bersama.

Masing-masing desainer pun berkreasi dengan kain pilihannya. Chossy Latu misalnya, menghadirkan koleksi high fashion dengan songket Padang sebagai material. Melalui tema “Poise of Minangkabau” Chossy ingin mengajak pecinta fashion untuk melihat bahwa songket Padang pun bisa menjadi busana kontemporer. Sementara Ghea Panggabean tetap setia dengan kain jumputan Palembang, yang seperti dikatakannya merupakan teknik tertua dari proses batik. Melalui tema “Pelangi” Ghea menampilkan gaya bohemian yang menjadi ciri khasnya dipadukan dengan nuansa etnik Mentawai, dan sentuhan modern dari detil pernik kerang dan motif tribal.

Yusjirwan Yunasz atau yang lebih dikenal Itang Yunasz, menghadirkan kain Tenun Troso dari Jepara dalam koleksinya yang bertema “Alliance from West”. “Tenun Troso diproses melalui semprotan tinta pada kain langsung, tidak dijumput atau ikat, ini yang kemudian diberi nama ‘alliance’ dimana idenya sendiri datang dari mbak yu jamu,” tutur Itang. Cerita berbeda datang dari Hian Tjen, desainer yang terkenal dengan kemegahan gaun pengantinnya ini mengaku baru pertama kali mengolah wastra Nusantara. Tema “Ethnicology” yang diangkatnya merupakan inspirasi dari perkawinan budaya antara Indonesia dengan Korea. Tenun Baduy yang menjadi pilihannya, hadir dalam warna-warna pastel yang cantik dengan cutting yang begitu modern. Sebuah interpretasi baru dari pelestarian budaya.

Sementara bagi Priyo Oktaviano, bermain dengan wastra Nusantara seperti sudah tertanam dalam jiwanya. Melalui lini keduanya ‘SPOUS’, Priyo menghadirkan serangkain koleksi ready to wear bertema “Lurik Arik” dengan gaya edgy, kontemporer, etnik, modern dan urban. Menampilkan beberapa gaya seperti celana pipa lurus berpadu blus asimetris, kemeja dengan celana sarung, juga over size dress. Dan terakhir, sang penggagas Didi Budiardjo mengaplikasikan kain Tenun Gedog asal Tuban yang dikombinasikan dengan bahan denim menghadirkan kesan edgy dan modern. Seperti dikatakan Didi, ”Adalah kewajiban desainer untuk memperkenalkan wastra Nusantara agar roda ekonomi berputar, dan pengrajin bisa tetap hidup.”

Foto Vaesy

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP