Melestarikan Kekayaan Rias Tradisi SANGGAR LIZA

Tidak menutup kemungkinan kelak nama Sanggar Liza akan melegenda. Sebab dalam kurun waktu 37 tahun hingga kini, dedikasinya pada rias tradisi tak sedikit pun berubah.

Tanpa terasa perjalanan waktu telah membawa Sanggar Liza menjejak pada angka 37 tahun. Usia yang matang bila dikorelasikan dengan umur manusia. Dari sebuah salon kecantikan wajah dan rambut menjadi sanggar rias yang menangani pengantin tradisional. Inovasi, kreativitas, serta profesionalisme merupakan hal yang tidak henti dilakukan. Termasuk dalam hal mengenalkan sanggar secara keseluruhan. Hingga orang tidak sekedar tahu Liza sebagai individu. Melainkan Liza sebagai bagian dari sanggar yang melestarikan kekayaan tradisi.


Pada sebuah kesempatan, Liza pernah berbagi kisah pada Weddingku Tradisional, mengenai ribuan rasa yang diarunginya ketika kali pertama menekuni profesi rias tradisi. Tak semuanya sedih. Terkadang tersisip tawa di dalamnya. Dan pada akhirnya Lyza menyemai bahagia, bahkan rasa bangga lantaran bisa jadi bagian dari sejarah terpenting sepasang anak manusia, yakni pernikahan.

Tapal kisah Sanggar Liza bergulir dari sebuah ungkapan yang mengatakan; bahwa lingkungan ikut memberikan pengaruh pada profesi yang kelak akan kita tekuni. Dan hal itu benar adanya. Lilis, atau akrab disapa ibu Liza, pendiri sanggar tata rias dan busana tradisional Sanggar Liza mengalaminya. Ketertarikannya pada bidang tata rias tradisional, konon dipengaruhi oleh lingkungan tempat Liza tumbuh dewasa. Bahkan bisa dibilang sejak kecil ia sudah dekat dengan hal yang bersinggungan dengan pernikahan. Lantaran sang nenek adalah seorang perias pengantin, sedang kakeknya berprofesi sebagai penghulu pernikahan. “Dulu saya suka ikut dan memperhatikan ketika nenek sedang merias pengantin. Dari situlah minat saya tumbuh terhadap bidang tersebut,” tuturnya bercerita.


Intuisi saya lebih memilih pada hal rias pengantin. Sebab saya begitu mencintai dan ingin melestarikan kekayaan rias tradisional Indonesia,”

Merasa belum cukup menyerap ilmu rias tradisi, ia pun nyantri pada beberapa orang maestro di bidang tersebut. Mulai dari ibu Mudjiwati Sahid ahli rias pengantin paes ageng dan sanggul, ibu Yakse, kemudian ibu Abadi dan lain sebagainya. Lambat laun pengetahuan Liza akan seluk-beluk pengantin tradisional semakin kaya. Ia piawai menangani berbagai prosesi dan rias pengantin adat nusantara. Sebut saja adat Jawa, Sunda, Betawi, dan Madura. Hal itu membuat semua gurunya kagum. Liza dinilai cekatan dan cakap dalam merias. Tak ayal ia pun kerap diminta menggantikan mengajar bila para gurunya itu sedang berhalangan.

Berbekal ilmu tata rias yang kian mumpuni, Liza memberanikan diri membuka salon kecantikan di tahun 1978. Saat itu lokasinya berada di jalan dr. Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan. Lantaran memang memiliki bakat sekaligus mencintai bidang kecantikan, ia tidak memerlukan waktu lama menggaet pelanggan. Seiring berjalannya waktu, sampailah Liza pada suatu titik, bahwa ia harus memilih. Menekuni salon atau rias pengantin secara lebih profesional.


Dalam keheningan malam, Liza pun merenung. Ia luruh, melebur dalam rangakaian doa yang dipanjatkan pada Allah SWT. Tak berapa lama kata hatinya pun berbisik. “Intuisi saya lebih memilih pada hal rias pengantin. Sebab saya begitu mencintai dan ingin melestarikan kekayaan rias tradisional Indonesia,” kata Liza.

Dan kini semangat itu ditularkan Liza pada ketiga putrinya, yakni Leti Zanuryati, Renny Zanuryani, dan Fitri Zanursanti, yang ikut terjun membantu dan membawa Sanggar liza sebagai penyedia jasa rias tradisional yang sangat diperhitungkan. Dan banyak dipilih oleh para calon pengantin. “Meningkatkan kualitas berbagai sumber daya untuk kemajuan Sanggar Liza, sudah pasti terus kami upayakan. Mulai dari membuat paket, kerjasama dengan berbagai vendor pernikahan. Kami inigin kelak Sanggar Liza tumbuh menjadi sanggar one stop wedding,” ujar Fitri, salah satu putri pendiri Sanggar Liza.

Foto dok. Sanggar Liza, Adit Sastradipradja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP