Teater Koma; 'Warisan' yang Tak Diinginkan

Dibatasi dinding tinggi, sebuah panti werdha yang dihuni lansia terpisah jadi dua blok dengan kehidupan bak langit dan bumi. Delapan tahun lalu penghuni lama masih merasakan kesejahteraan dari para donatur yang rajin memberi. Tapi itu dulu. Kini semua telah berubah. Kini para lansia miskin ditelantarkan tak terurus. Berbeda dengan blok di sebelahnya, dimana para lansia kaya raya hidup nyaman menikmati sisa hidupnya menunggu waktu menuju paradis (paradise). Itulah salah satu keajaiban uang yang dapat membeli segalanya.

Meskipun perbedaan mencolok yang dirasakan para lansia dari dua golongan menjadi konflik utama, naskah terbaru karya Nano Riantiarno ini juga dibumbui dengan berbagai plot tentang isu politik yang terjadi di negara yang bernama Hindanasasa yang berada di antah berantah. Politik yang berkaitan erat dengan korupsi juga dipadukan dalam kisah yang terjadi pada tokoh Munan, seorang kakek lansia dengan empat anak. Dari keempat anaknya, putra sulungnya yang sering mengganggu pikiran dan emosinya sehingga kedamaian di panti werdha sering terusik akibat teriaknnya yang tidak ingin anaknya terjerumus dalam lembah korupsi.

Penghuni lain, salah satunya seorang penulis bernama Kirdjomuldjono merasa ketenangannya buyar akibat teriakan-teriakan Munan. Ide brilian yang telah ditunggu untuk ditulis pun tidak kunjung menghampiri karena kegaduhan yang dibuat Munan. Padahal Kirdjomuldjono sengaja memilih tinggal di panti untuk mendapatkan ketenangan menulis. Namun ide yang ditunggu tak jua muncul. Rasa frustasi membuatnya menyiksa diri di kursi listrik, berharap sang `ide` akan datang dengan sendirinya.

Di ruang lain, di sisi dinding sebelah, masalah besar justru disebabkan kekurangan uang, bukan hal rumit seperti yang diinginkan Kirdjomuldjono. Satu hal yang diinginkan para lansia miskin adalah dapat hidup tenang dan damai tanpa harus ketar-ketir memikirkan uang agar tidak tersingkir dari panti.

Demikian ringkasan cerita yang dilakonkan teater koma dalam judul “Warisan”. Didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, kisah yang ditulis Nano Riantiarno sekaligus sebagai sutradara sedikit berbeda dari lakon-lakon sebelumnya yang dimainkan Teater Koma seperti Opera Ikan Asin, Opera Kecoa yang banyak menampilkan tarian dan nyanyian. Walaupun tanpa hiburan tari dan nyanyian, warisan menyuguhkan kejutan dari pemindahan set panggung, cerita dan karakter yang kuat.

Lakon Warisan dipertunjukkan sejak 10 – 20 Agustus 2017 di Gedung Kesenian Jakarta, dengan harga tiket bervariasi mulai dari Rp. 80.000 – Rp. 400.000. Dalam produksi ke-149 ini, kita dapat menyaksikan berbagai karakter lansia hasil tata rias karakter Subarkah yang didukung PAC Martha Tilaar. Dengan tokoh-tokoh yang diperankan oleh Idris Pulungan, Budi Ros, Ratna Riantiarno, Rita Matu Mona, Ohan Adiputra, Ratna Ully, Rangga Riantiarno, dkk. Disutradarai N. Riantiarno dan co-sutradara Ohan Adiputra, tata busana oleh Alex Fatahillah, tata artistik dan cahaya Taufan S. Chandranegara, pimpinan produksi Ratna Riantiarno, pengarah teknik Tinton Prianggoro dan pemimpin panggung Marshal Ariffano.

Foto: Dok. Image Dynamics

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP