Industri mode Indonesia seakan tak pernah kehilangan gairahnya. Kali ini IPMI (Ikatan Perancang Mode Indonesia) kembali menghadirkan kesegaran dengan digelarnya IPMI Trend Show 2014 pada 8-9 Oktober 2013, di Skeeno Hall Exhibition Gandaria City, Jakarta. Empat belas desainer yang tergabung dalam ikatan ini mempersembahkan karya-karya mereka dengan tema besar “Reinforcement”, yang diterjemahkan ke dalam karakter rancangan masing-masing. Di antaranya adalah Sebastian Gunawan dan Cristina yang merangkum seluruh karyanya di bawah lini kedua mereka, Votum. Bertema Dusk & Dawn, hampir seluruh busana ready to wear yang ditampilkan berupa terusan mini berpotongan simpel tanpa banyak draperi atau ornamen tambahan lain. Clean dan simpel.

Era Soekamto menampilkan koleksinya di hari kedua dengan tema 1421. Angka yang diambil dari tahun dimana penjelajahan bangsa Cina yang dipimpin Laksamana Ceng Ho menemukan benua-benua baru, di antaranya Amerika, jauh sebelum Christopher Colombus memijakkan kakinya di tahun 1492. Fakta tersebut didapat berdasarkan buku yang ditulis Gavin Menzies. Dikatakan pula selama melakukan penjelajahan, laksamana Ceng Ho sering singgah di pulau Jawa maupun Eropa. Hal ini menyebabkan terjadinya percampuran kultur yang menjadi pemicu lahirnya Renaissance di Eropa. Era Soekamto pun ingin kembali memutar waktu dengan menciptakan koleksi bergaya Renaissance, campuran Jawa, Cina dan Eropa. Hasilnya, kebaya kutu baru, kebaya kartini serta kebaya panjang khas Jawa yang dibubuhi sejumput budaya Renaissance (Eropa) semisal permainan motif dekoratif flora yang diduga hasil pengaruh budaya timur. Terlihat begitu anggun dengan paduan kain batik koleksi Iwan Tirta Private Collection bercorak Megamendung, Nogo dan Vas Cino.

Masih berkaitan dengan sisi budaya, Mel Ahyar kembali mengahadirkan koleksi teranyar miliknya di hari pertama tanggal 8 Oktober. Mengaku telah lama terpikirkan untuk menggali kesenian Jawa Barat, baru pada IPMI Trend Show yang pertama baginya ide tersebut terlaksana. Meski tradisional, busana yang disajikan memiliki rasa modern. Lihat saja potongan busana yang berteknik sharping tailoring serta boxy cut di beberapa gaun panjang koleksinya. Kisah perwayangan tokoh-tokoh Pandawa Lima melawan Buto sang antagonis diciptakan melalui motif print, bordir dan sulam. Serangkaian busana yang melaju di atas panggung seolah-olah membuat alur cerita yang diakhiri dengan kemenangan Pandawa Lima.

Priyo Oktaviano melalui lini keduanya, Spous, meramaikan malam terakhir dengan mengangkat judul Grains De Sable (Grains of Sand). Hamparan pasir di gurun menjadi panorama yang menginspirasi koleksinya. Elemen warna yang dipakai pun diadopsi dari warna alam gurun pasir, cokelat tua, cokelat muda, putih dan hijau. Empat warna, empat sekuen, jadi masing-masing sekuen dicirikan dalam satu warna. Suku Indian Apache yang hidup di gurun-gurun Amerika mengilhami Priyo untuk membuat busana modern etnik Indian Apache. Terusan longgar berteknik draperi jatuh mulus dengan bahan bertekstur ringan. Material yang digunakan alami karena dari serat nanas, pisang, eceng gondok, dan serat bahan goni yang ramah lingkungan. Untuk mempertajam kesan Indian, bulu unggas yang kerap dijadikan akserori untuk melengkapi pakaian perang, tidak luput dari perhatian. Dalam koleksi yang total berjumlah 30 set yang di antaranya 6 set busana pria, buckskin dress pakaian perang suku Indian tidak terlewatkan.
Teks: Mery Desianti | Foto: Vaesy