Sanggar Liza: Ribuan Rasa Pada Sebuah Kisah II (Habis)

Suka Duka Adalah Suplemen Penyemangat
Dalam rentang waktu 35 tahun di dunia rias pengantin tradisional, sudah barang tentu Liza memiliki banyak cerita. Entah itu yang menuai tawa atau duka. Tapi yang pasti hal itu selalu ia sikapi dengan positif. “Sedih ataupun senang keduanya saya terima dengan kelapangan hati dan introspeksi diri. Jadi tetap menerbitkan rasa bahagia di hati,” ungkap Liza. Salah satunya ketika ia merias pengantin yang menggunakan dua adat dalam prosesi pernikahannya. Saat itu terjadi salah informasi dari staf Liza. Menurut informasi, ia harus merias pengantin Sunda untuk akad. Sedangkan untuk resepsi menggunakan adat Jawa Solo. Padahal, seharusnya Yogya paes ageng.

Liza pun dihinggapi rasa panik. Sebab saat itu waktu sudah menunjukan pukul 17.30. Sedangkan biasanya ia membutuhkan waktu empat jam untuk mengerjakan gaya pengantin Yogya, paes ageng. Dan kalau ada pengantin yang ingin memakai riasan adat tersebut saat resepsi, pasti dari awal ia akan menyarankan pengantin untuk dirias paes ageng. Karena riasan itu memiliki tingkat kesulitan yang memerlukan perhatian lebih. Kalaupun tetap dilaksanakan, perlu trik tersendiri agar keduanya bisa terealisasi sempurna.

“Saat itu saya berusaha tetap tenang. Hati ini tak henti berdoa minta pertolongan kepada Allah SWT. Sembari membetulkan riasan, saya berbisik pada Fitri yang kebetulan ikut membantu merias. Agar telepon ke rumah untuk minta dibawakan berbagai pernak-pernik pengantin Yogya. Karena peralatan yang saya bawa, semuanya bergaya Solo. Anak saya, Fitri sibuk menghubungi orang hari itu,” ujar Liza menceritakan. Rata-rata yang dihubungi melalui telepon kaget, lantaran harus memenuhi permintaan yang mendadak. Termasuk seorang rekan yang diminta bantuan untuk memasangkan prada pada pengantin. Karena dalam rentang waktu yang sangat singkat, Liza merasa tidak mungkin menyelsaikan riasan pengantin itu seorang diri. Ia hanya memiliki waktu lebih kurang satu setengah jam saja. Sedangkan jam 19.00 resepsi sudah akan dimulai.

Singkat cerita, akhirnya Liza mampu merampungkan semuanya sebelum pukul 19.00. Akan hal itu, ia tak habis pikir. Kok bisa ya? Terlebih ketika keluar dari ruang rias, Liza mendapati keadaan di luar gedung tengah diguyur hujan lebat, membuat kedatangan tamu jadi sedikit terhambat. “Perasaan saya campur aduk saaat itu, sedih sekaligus senang. Sedih karena saya hampir melakukan sesuatu yang fatal di hari bahagia pasangan pengantin. Senang lantaran semuanya berakhir indah. Bahkan orang tua mempelai tak henti memuji dan berterimakasih pada saya. Beliau bilang, ibu Liza hebat bisa merubah tiga riasan berbeda dalam waktu singkat,” terang nenek yang telah dikaruniai tujuh orang cucu ini.

Ya, berbagai peristiwa yang diarunginya ketika merias membuat sisi spiritual perempuan asal ranah Sunda ini makin bertambah. Baginya profesi perias pengantin dekat sekali dengan spiritualitas. Sebab seorang perias itu memiliki tanggung jawab yang besar, yakni sebuah kepercayaan. Untuk itu, Liza senantiasa mendekatkan diri pada Alllah SWT, melalui shalat dan berdoa agar diberi kemudahan serta pertolongan dalam menjalankan profesi. “Saya sangat percaya disaat kita menemui kesulitan, pasti akan selalu ada jalan untuk menyelesaikannya. Dan itu terjadi karena bantuan Allah SWT,” katanya yakin.

Dan tanpa terasa, kini sanggar yang namanya berasal dari pengabungan dua buah nama itu, Lilis dan Zakaria sang suami, terus tumbuh dan berkembang. Dari sebuah salon kecantikan wajah dan rambut menjadi sanggar rias dan busana yang menangani pengantin tradisional. Inovasi, kreativitas, serta profesionalisme merupakan hal yang tidak henti dilakukan. Termasuk dalam hal mengenalkan sanggar secara keseluruhan. Hingga orang tidak sekedar tahu Liza sebagai individu, melainkan Liza sebagai bagian dari sanggar yang melestarikan kekayaan tradisi nusantara.

Foto Adit Sastradipradja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP