Prosesi Pernikahan ala Keraton Yogyakarta

1. Filosofi
Sebagai acara yang sakral dan bermakna, seringkali pernikahan diikuti dengan berbagai prosesi lain yang menegaskan kesakralan acara tersebut. Bila pernikahan di kalangan masyarakat biasa saja dilengkapi dengan berbagai prosesi, terlebih lagi pernikahan yang dilakukan di kalangan Kraton. Prosesi pernikahan yang digelar di dalam lingkup Kraton selalu menyelipkan piwulang (ajaran) melalui berbagai simbol. Seperti pada pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara yang belum lama ini digelar di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Meski ada pakem-pakem yang harus diikuti, namun tak menutup kemungkinan untuk dilakukan beberapa variasi. Salah satunya adalah prosesi kirab. Menurut keterangan GBPH Yudhaningrat, adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, meskipun pada pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara dilakukan kirab dengan menggunakan kereta kuda, tidak demikian dengan pernikahan putri Sultan sebelumnya. Pada pernikahan GKR Pembayun, kirab dilakukan mengelilingi Beteng, sementara pada pernikahan GKR Condrokirono dan GKR Maduretno dilakukan kirab dengan cara yang sederhana. Akan tetapi, diyakini hal ini tidak mengurangi makna acara yang merupakan salah satu bentuk kedekatan Kraton dengan rakyat Yogyakarta tersebut.


2. Tuguran & Nyantri
Selain itu, beberapa prosesi lain juga mengalami sedikit perubahan, seperti Tuguran atau persiapan pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh para abdi dalem selama 40 hari kini hanya dilakukan dalam waktu 4 hari. Sementara Nyantri yang seharusnya juga 40 hari dipersingkat menjadi hanya 1 hari. Prosesi Nyantri ini memiliki maksud untuk mengenalkan kehidupan Kraton kepada calon pengantin pria dalam hal ini Yudanegara, yang berasal dari luar Kraton, serta untuk mengetahui prilaku dan tindak-tanduk Yudanegara dalam kesehariannya.


3. Plangkahan
Merupakan prosesi khusus yang hanya dilakukan bila calon pengantin memiliki kakak yang belum menikah. Oleh karena GKR Bendara sebagai putri bungsu mendahului kakaknya GRAj Nurabra Juwita, menikah terlebih dahulu, maka ia harus menyerahkan plangkahan dengan maksud agar sang kakak dapat dengan ikhlas memberikan ijin kepada adiknya untuk menikah terlebih dahulu. Pada prosesi yang dilangsungkan di Kraton Kilen ini, GKR Bendara meminta ijin kepada kakaknya untuk mendahului menikah dan memberikan seperangkat kebutuhan wanita, seperti tas, sepatu, dompet dan perhiasan. Selain itu diserahkan juga setangkup pisang sanggan, sebagai tebusan agar sang kakak memberi restu.


4. Siraman
Prosesi Siraman yang mengandung makna menyucikan kedua calon pengantin dilaksanakan sehari sebelum pernikahan. Siraman dilakukan oleh ibu pengantin dan para tetua yang dianggap berhasil dalam kehidupan pernikahan, dengan maksud agar kedua pengantin berbahagia dalam hidupnya. Dalam prosesi ini, GKR Pembayun, putri tertua Sultan HB X mengutus GKR Maduretno untuk mengirim air siraman yang berasal dari tujuh sumber ke Kagungan Dalem Kasatriyan untuk digunakan siraman oleh calon pengantin pria. Sementara siraman pengantin putri dilaksanakan di Kagungan Dalem Sekarkedhaton, dilakukan oleh GKR Hemas, istri Sultan HB X dan beberapa tetua lainnya.
Setelah Siraman calon pengantin putri selesai dilaksanakan, GKR Hemas menuju Kagungan Dalem Kasatriyan untuk melakukan siraman pada calon pengantin pria, bersama dengan ibu calon pengantin pria Nurbaiti Helmi, GKR Pembayun, eyang putri calon pengantin pria, dan tetua lain.

5. Tantingan
Prosesi Tantingan yang dilakukan sore hari setelah Siraman merupakan prosesi dimana Sri Sultan HB X menanyakan kesiapan putrinya untuk menikah dengan calon suami yang dipilihnya. Prosesi ini disaksikan oleh GKR Hemas dan kakak-kakak GKR Bendara.


6. Midodareni
Midodareni yang berasal dari kata widodari atau bidadari, mengandung makna malam saat calon pengantin putri menunggu bidadari turun ke bumi. Saat inilah yang ditunggu-tunggu untuk memperoleh berkah agar para bidadari menganugerahkan kecantikan sehingga calon pengantin putri terlihat cantik berseri-seri, ibarat menjelma menjadi bidadari dari kahyangan. Prosesi ini bermula dari kisah dewi nawangwulan yang berjanji untuk turun dari khayangan mengunjungi putrinya, malam sebelum sang putri melangsungkan pernikahan.
Pada malam ini calon pengantin putri hanya duduk di kamar ditemani ibu dan kerabat dekat, seperti GKR Bendara yang ditemani GKR Hemas serta para putri dan abdi dalem.


7. Ijab Kabul
Ada perbedaan antara ijab Kabul yang biasa dilakukan dengan ijab Kabul yang dilakukan di Kraton Ngayogyakarta. Bila biasanya ijab Kabul dilakukan oleh petugas KUA, Ijab Kabul antara GKR Bendara dengan KPH Yudanegara dilakukan sendiri oleh Sri Sultan HB X di Kagungan Dalem Masjid Panepen, dipimpin oleh Kanjeng Raden Penghulu Dipodiningrat, disaksikan oleh kerabat Keraton, dan dicatat oleh penghulu KUA Kecamatan Keraton Yogyakarta.


8. Panggih
Upacara Panggih merupakan prosesi dimana kedua pengantin dipertemukan pertama kali setelah mereka resmi menikah. Prosesi diawali Ngedan atau tari edan-edanan yang biasanya dilakukan oleh para abdi dalem dan dimaknai sebagai keseimbangan dalam hidup yang terus terjaga. Pasangan pengantin dengan ketampanan dan kecantikannya dianggap membutuhkan keseimbangan yang diwujudkan oleh penampilan abdi dalem yang ngedan dengan dandanan compang camping. Selanjutnya barulah dilakukan penjemputan pengantin pria oleh adik Sultan HB X di Kesatriyan menuju Kagungan Dalem Bangsal Kencana, tempat dilakukan prosesi. Setelah pengantin pria dijemput, pengantin putri diiringi keempat kakaknya hadir di Kagungan Dalem Bangsal Kencana.
Prosesi dimulai dengan balangan gantal atau melempar sirih, dan mecah telur. Dilanjutkan dengan pondhongan, yaitu KPH Yudanegara dibantu GBPH Suryadiningrat memondong GKR Bendara. Prosesi pondhongan ini mengandung makna pengantin pria menghargai pengantin wanita sebagai putri raja. Prosesi selanjutnya adalah tampa kaya dan dhahar klimah yang dilakukan di Kasatriyan.


9. Kirab Pengantin
Merupakan prosesi yang ditunggu – tunggu oleh masyarakat Yogyakarta. Seisi kota Yogyakarta seakan tumpah ruah ke jalan demi untuk menyaksikan pasangan pengantin yang diarak dari Kraton Yogyakarta menuju Kepatihan atau kantor Gubernur, tempat dilangsungkannya resepsi. Kecintaan masyarakat Yogyakarta terhadap Sri Sultan dan keluarganya terlihat jelas disini. Masayarakat rela menunggu ditengah terik matahari, sejak siang hari hingga sore menjelang maghrib ketika akhirnya rombongan kirab GKR Bendara dan KPH Yudanegara melintasi rakyatnya menuju Kepatihan. Rombongan menaiki kerata dengan urutan kereta Kanjeng Kiai Rotobiru, Kanjeng Kiai Jong Wiyat, Kiai Kus Cemeng, Kiai Kus Ijem, dan Kiai Permili. Sementara kedua pengantin menaiki kereta Kanjeng Kian Jong Wiyat.


10. Resepsi
Pada resepsi pernikahan ini disajikan tarian Bedaya Manten yang merupakan ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tarian yang dibawakan oleh enam penari ini menceritakan perjalanan seseorang menuju gerbang rumah tangga. Selain itu diperagakan juga tari Lawung Ageng yang dibawakan dua belas penari pria dan menunjukkan jiwa patriotisme.

11. Pamitan
Prosesi terakhir dari pernikahan putri Sultan Hamengku Buwono adalah pamitan, karena setiap putra ataupun putri Sultan yang telah menikah tidak lagi diperkenankan tinggal di lingkungan kraton, sehingga mereka harus meninggalkan kraton. Bila pasangan pengantin masih tinggal di wilayah Yogyakarta, biasanya Sultan sudah mempersiapkan rumah bagi mereka, tetapi karena KPH Yudanegara bertugas di Jakarta, maka GKR Bendara memutuskan untuk mengikuti suaminya tinggal di Jakarta.

Teks : Setia Bekti

Foto : Dok. Kraton Yogyakarta, Jeffry


LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP