Magellani, Keindahan Koleksi Hian Tjen dalam Taburan Bintang

Bagi seorang desainer, inspirasi bisa datang kapan saja, bahkan saat tengah menikmati liburan. Begitu pun dengan Hian Tjen. Liburan ke Maroko membawanya pada sebuah peragaan busana bertema ‘Magellani’. Diawali pada satu malam saat sang desainer terpana menatap langit yang menghamparkan bintang gemintang di Galaksi Bima Sakti. Mata teleskop Hian mendapati susunan bintang yang seolah menyerupai jalur yang menuju arah Selatan.

Sebuah kekaguman yang bertambah saat Hian mengetahui cerita romantis rakyat Estonia tentang bintang-bintang itu. Di mana seorang mahadewi bernama Lindu jatuh cinta pada ketampanan Cahaya Utara dan menangis patah hati karena ketidakpastian. Jejak air mata sang Dewi menjadi jalur migrasi burung-burung dari utara ke selatan, dari area dingin ke area hangat.

Menciptakan desain, menggambar sketsa, menyusun mood board, menentukan siluet hingga menggarap bahan baku demi kesempurnaan, dilakukan sang desainer sejak inspirasi menghampiri dirinya. Hingga akhirnya, malam tanggal 6 September 2017 di Ballroom Raffles Jakarta, setiap mata seakan tersihir pada pesona keindahan busana-busana indah yang membalut tubuh dan hilir mudik di antara taburan bintang.

Lima sampai enam bulan waktu yang diperlukan dalam mempersiapkan gelaran ini. Busana-busana yang terlihat simpel ini ternyata memerlukan yang cukup rumit. Untuk menyempurnakan imajinya, desainer kelahiran 19 Februari 1985 ini mengajak Ian Permana, illustrator yang berdomisili di Bali untuk menorehkan ilustrasi si gadis Lindu, burung-burung, planet, bulan, rasi bintang, lambang astrologi dan awan-awan agar menjadi tokoh yang dihidupkan di atas bahan. Hian bahkan rela pulang pergi ke Italia menyulih ilustrasi tersebut ke dalam motif printing ke atas bahan-bahan halus berkualitas, lantaran belum dapat diwujudkan di Tanah Air.

Total 59 koleksi busana Hian Tjen Couture 2017-2018 Collection dipersembahkan dalam gelaran bertajuk ‘Magellani’ tersebut. Nama yang diambil dari nama galaksi kecil yang mengitari Bima Sakti. Lima puluh Sembilan koleksi yang ringkas, ringan, dan bergaya kekinian. "Meskipun terlihat simpel tapi justru tingkat kesulitannya tinggi sekali. Teknik pembuatannya pun sangat sulit dan harus teliti. Oleh karena itu, 1 busana memakan waktu pembuatan 3 minggu hingga sebulan," papar Hian Tjen.

Terlihat pada jaket berlengan lonceng yang dipadu rok lebar klok dari bahan flanel, atau terusan span berbahan tipis, dalam nafas mode era 1940-an. Detail bintang-bintang yang dijahitkan satu per satu di atas gaun bukan hanya mempercantik rancangan, tapi lebih untuk mempertegas ide. Pada busana lainta, Hian menampilkan torso transparan pada busana bersiluet lurus, serta gaun-gaun malam panjang dengan rok tumpuk di atas bahan tulle untuk memberi kesan tokoh dewi.

Ada pula jaket lebar berlukis tokoh gadis Lindu di antara lambang astrologi hasil sulam tangan yang menjadikannya sebagai aksen penyita perhatian. Kekayaan sulam tangan dan bordir ini tampak menguatkan rancangan blus, rok, dan gaun-gaun yang saling berpadu padan dalam garis simpel. Rok tumpuk/ tier dress hadir dalam lipit-lipit dan jumbai-jumbai yang disusun helai demi hlai hingga berjajar rapi di atas busana. Material silk gazar, scuba, dan tulle mendominasi seluruh koleksi, dihiasi warna-warna dusty pink, slate blue, dan midnite blue, serta keemasan dan keperakan.

Aksesori dan sepatu yang dipercayakan pada desainer aksesori Rinaldy Yunardi dan desainer sepatu Rina Thang pun disesuaikan dengan pemintaan Hian Tjen untuk menampilkan sesuatu yang simpel, yang seperti diakui keduanya, semakin simpel justru proses pembuatannya semakin sulit. Menghadirkan kesederhanaan yang begitu indah dalam tata panggung dan tata lampu yang luar biasa. Menceritakan fenomena alam saat senja menjelang dan malam menutup hari.

Foto :Dok. Tim Muara Bagdja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP