Keinginan melihat kain batak dikenakan dalam setiap kesempatan oleh setidaknya orang Batak itu sendiri, membuat Valentino tak kenal lelah berjuang mewujudkan dan memperkenalkan songket Batak.
Di awal karirnya Valentino Napitupulu lebih dikenal sebagai perancang busana siap pakai. Sejak memulai usaha tahun 1988 hingga 1998, produknya mengisi 13 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Bali. Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 membuat alumni Tata Busana Universitas Negeri Jakarta ini terpaksa banting stir. “Kenapa saya banting stir? Karena pada saat resesi, bisnis ready to wear tidak jalan, penjualan di Department Store turun drastis, lalu ada yang bertanya apakah saya bisa membuat pengantin? Nah, saya berprinsip harus bilang bisa, jadi saya ambil. Dan ternyata berbeda 180 derajat, kalau busana siap pakai serba polos, sementara untuk baju pengantin diperlukan taste dan kreatifitas yang tinggi, tapi disitulah tantangannya,” papar Valen.

Keinginan untuk terus maju membawanya mengikuti kursus di ESMOD pada tahun 2001. “Saya ingin tahu cutting-nya gimana, bikin bustier yang benar, dari mulai membuat pola sampai menjahit, isinya apa saja, ditempel kawat dan kain keras. Juga untuk baju pesta, gimana jatuhnya kain sutra, bedanya dengan kain yang agak kaku seperti organdi, taffeta, dan sebagainya,” jelas Valen lebih jauh.
Berhasil mendesain busana pengantin dan busana pesta tidak membuatnya meninggalkan bisnis busana siap pakai yang telah membesarkan namanya. Bapak satu anak ini menyadari bahwa penampilan hasil karyanya di beberapa majalah dan peragaan busana berhasil mengangkat namanya dan berimbas pada bisnis busana siap pakai yang juga berlabel Valentino Napitupulu. Eksistensinya yang terus meningkat sebagai perancang kebaya dan busana pesta berjalan seiring dengan meningkatnya pesanan seragam dari beberapa perusahaan. Meski begitu, ia mengaku bahwa mendesain kebaya dan baju pesta lebih mendatangkan kepuasan. “Dari segi kreatifitas dan tantangan lebih senang membuat kebaya dan busana pesta karena kita benar-benar diuji. Selain itu bila seseorang mengenakan karya saya, lalu teman atau keluarganya senang, dan mereka juga datang kepada saya, rasanya benar-benar puas,” ujarnya.

Mengenai kreatifitas ini Valen sempat memperlihatkan salah satu cara yang ia gunakan dalam mencari ide. Yaitu dengan cara meremas-remas kertas putih polos, kemudian dibuka dan menggambar bentuk baju berdasarkan tekstur pada kertas yang terbentuk akibat diremas tadi. “Ide itu ada di sekeliling kita, kadang tembok retak bisa jadi ide, pohon dengan cabang-cabangnya bisa jadi ide, waktu sekolah dulu kita suka beli majalah ide, bukan majalah Vogue, tapi majalah yang isinya memang cuma ide-ide yang bisa digunakan oleh perancang maupun arsitek, biasanya majalah luar negeri,” jelasnya lagi.
Meski sulit dan memerlukan kreatifitas, Valen mengaku tidak mematok harga terlalu tinggi pada kebaya rancangannya dengan alasan agar masih terjangkau oleh kalangan menengah. “Main di kebaya dan buana pesta memang harus mengerti trik-triknya agar terlihat megah. Apa yang harus kita kombinasikan agar bisa menyesuaikan harga. Bagaimana memadukan antara swarovski dengan payet. Karena jujur saja harga saya tidak terlalu high class, saya memang sengaja main di tengah agar bisa membuat sesuatu yang bagus dengan harga terjangkau,” paparnya.

Sebagai orang Batak, terutama setelah menekuni kebaya, ada satu hal yang cukup mengganggunya, yaitu pada setiap acara pernikahan, orang Batak selalu mengenakan songket Palembang atau Minang, dan bukan Ulos yang merupakan kain tradisional Batak atau Sumatera Utara. Alasannya adalah karena Ulos tidak cantik, seandainya orang Batak memiliki kain yang cantik seperti songket Palembang atau Minang, mereka pun mau mengenakannya. “Akhirnya saya bereksperimen, dan itu sama sekali tidak mudah. Saya tanya benang seperti apa yang digunakan untuk songket Palembang, saya beli benang emas dan silver, lalu saya temui anak-anak dari penenun, jadi angkatan mudanya, atau ibu-ibu muda, saya ajak bicara, saya ajak mereka untuk maju. Akhirnya saya sekarang punya penenun di Porsea, Meat, dan Tarutung. Jadi saya tinggal kirim benang, bahkan sekarang mereka mulai bisa mencari benang sendiri, meskipun ada yang masih tetap saya kirimi. Untuk motifnya sama seperti motif Ulos, tapi saya buatkan pola seperti songket, dengan tumpal dan ada bagian yang motifnya lebih kecil-kecil,” cerita pemilik Valentino Napitupulu Boetique and Bridals ini mengenai perjuangannya merintis songket Batak yang dimulai sejak tahun 2003. Valen juga sempat bercerita bagaimana sulitnya membujuk inang-inang pengrajin ulos untuk membuatkan songket pesanannya.

Keseriusannya menekuni songket Batak salah satunya terlihat dari display di butiknya dan permintaan kepada setiap majalah yang meminjam kebaya untuk sebisa mungkin memadankan kebayanya dengan songket Batak koleksinya. Setelah sekian tahun, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Dimulai dari lingkungan keluarga yang semula enggan mengenakan songket hasil karyanya yang seperti diakui Valen belum sehalus songket Palembang, perlahan mulai mau mengenakannya untuk acara-acara resmi seperti pesta pernikahan.
Ada satu hal yang cukup menghiburnya, beberapa pasangan calon pengantin asal Sumatera Utara yang biasanya lulusan luar negeri, datang kepadanya minta dibuatkan baju pengantin dengan pesan tidak ingin terlihat “Batak banget”. Meski tertawa geli mendengar istilah ini, tapi disinilah kesempatan Valen untuk memperkenalkan songket Batak. Ia membuatkan kebaya dan baju teluk belanga, busana pria khas Sumatera, dengan warna senada, dikombinasikan dengan ulos dan songket yang sesuai.

Disadari oleh Valen, salah satu tugas seorang perancang busana adalah mengangkat kain tradisional, mengubahnya dari sehelai kain biasa menjadi sesuatu yang indah. Dan inilah yang menjadi misi seorang Valentino, “Saya ingin lebih mengembangkan lagi songket Batak atau lebih spesifik songket Toba ini. Beberapa senior seperti almarhum Iwan Tirta dikenal dengan batiknya, Ramli dengan bordirnya, dan saya ingin dikenal sebagai pengembang songket Toba. Saya ingin nantinya membuat baju pesta dengan sentuhan songket Toba, walaupun belum tahu bagaimana caranya. Itu tantangan yang cukup sulit, karena songket memiliki garis desain tradisional sehingga sulit untuk membuatnya terlihat modern. Tapi saya akan terus mencoba,” jelas Valen semangat.
Teks : Setia Bekti
Foto : Vaesy, Dok.Valentino Napitupulu