Sanggar Liza: Ribuan Rasa Pada Sebuah Kisah I

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa lingkungan ikut memberikan pengaruh pada profesi yang kelak akan kita tekuni. Dan hal itu dialami Lilis, atau akrab disapa ibu Liza, pendiri sanggar tata rias dan busana tradisional yang sohor dengan nama Sanggar Liza. Pada sebuah kesempatan, ia berkisah mengenai ribuan rasa yang diarunginya ketika mulai menekuni profesi rias tradisi. Tak semuanya sedih. Terkadang tersisip tawa, bahkan rasa bangga lantaran bisa jadi bagian dari sejarah terpenting sepasang anak manusia, yakni pernikahan.

Di kediamannya yang berlokasi tak jauh dari Sanggar Liza, di bilangan Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan, ibu tiga anak ini memulai ceritanya. Ihwal ketertarikannya pada bidang tata rias tradisional, konon dipengaruhi oleh lingkungan tempat Liza tumbuh dewasa. Bahkan bisa dibilang sejak kecil ia sudah dekat dengan hal yang bersinggungan dengan pernikahan. Lantaran sang nenek adalah seorang perias pengantin, sedang kakeknya berprofesi sebagai penghulu pernikahan. “Dulu saya suka ikut dan memperhatikan ketika nenek sedang merias pengantin. Dari situlah minat saya tumbuh terhadap bidang tersebut,” tuturnya memulai cerita.

Merasa belum cukup menyerap ilmu rias serta berbagai tata cara berdasarkan tradisi yang kerap dilakoni calon pengantin tradisional dari sang nenek, ia pun mendalami tata rias pada beberapa orang maestro di bidang tersebut. Mulai dari berguru pada ibu Mudjiwati Sahid ahli rias pengantin paes ageng dan sanggul, ibu Yakse, kemudian ibu Abadi dan lain sebagainya. Lambat laun pengetahuan Liza akan dunia pengantin tradisional menjadi semakin kaya. Ia piawai menangani berbagai prosesi dan rias pengantain adat nusantara. Sebut saja adat Jawa, Sunda, Betawi, dan Madura. Hal itu membuat semua gurunya kagum. Liza dinilai cekatan dan cakap dalam merias. Tak ayal ia pun kerap diminta menggantikan mengajar bila para gurunya itu sedang berhalangan.

Memulai Dari Nol
Berbekal ilmu tata rias yang kian mumpuni, Liza memberanikan diri membuka salon kecantikan di tahun 1978. Saat itu lokasinya berada di jalan dr. Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan. Lantaran memang memiliki bakat sekaligus mencintai bidang kecantikan, membuat ia tidak memerlukan waktu lama untuk menarik pelanggan. Terlebih, kala itu salon-salon kecantikan memang masih terbilang langka di Jakarta. Selain salon, Liza juga membuka kursus kecantikan. Di sela waktu luang, ia kerap menyalurkan hobi lamanya, yakni merias pengantin.

Entah mengapa, untuk bidang yang satu itu, minat Liza seolah tidak pernah redup. Padahal ia harus menguras tenaga lebih guna menghampiri kliennya, ketimbang berada di salon ataupun mengajar kursus kecantikan. Bagaimana tidak, ia melakoninya seorang diri tanpa bantuan asisten. Bertandang dari rumah ke rumah untuk merias. Tak jarang ia kerepotan ketika membawa alat-alat rias yang diletakannya pada sebuah sepeda motor, sekaligus menyelaraskan keseimbangan berkendara lantaran busana kebaya yang dikenakannya. Belum lagi berbagai pertanyaan bernada meragukan keahliannya sebagai seorang perias muda. “Jadi sebisa mungkin saya selalu dandan dan tampil seperti ibu-ibu ketika hendak merias,” kenangnya sembari mengurai senyum. Lambat laun rasa percaya diri Liza bertambah, manakala ia sudah dikaruniai buah hati, dan kini cucu. Jadi seorang perias tradisional itu akan lebih percaya diri setelah lama dan banyak melewati lika liku yang kadang dijumpai dalam merias pengantin.

Seiring berjalannya waktu, sampailah pada suatu titik, bahwa ia harus memilih salah satu bidang kecantikan yang harus ditekuni secara lebih profesional. Apakah itu di salon atau rias pengantin. Dalam keheningan malam, Liza pun merenung dan bertanya pada dirinya sendiri. Ia luruh, melebur dalam rangakaian doa yang dipanjatkan pada Allah SWT. Tak berapa lama kata hatinya pun berbisik. “Intuisi saya lebih memilih pada hal rias pengantin,” kata Liza. Tambahnya lagi, “Saya memulai semua ini benar-benar dari bawah. Mulai dari memiliki beberapa orang karyawan hingga kini Alhamdulillah, sudah ada 50 orang karyawan yang membantu saya. Dan kini malah ketiga putri saya, Leti Zanuryati, Renny Zanuryani, dan Fitri Zanursanti, ikut terjun membantu di Sanggar liza.

Foto Adit Sastradipradja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP