Batik Dalam Upacara Perkawinan Yogyakarta

Pernikahan merupakan salah satu peristiwa istimewa dalam sejarah kehidupan sepasang anak manusia. Tak heran jika dalam banyak tradisi di negeri ini, pernikahan kerap dirayakan dengan rangkaian upacara yang sarat petatah-petitih kehidupan, serta nilai budaya yang sakral dan suci. Salah satunya budaya Jawa. Sebab menurut pandangan hidup orang Jawa, tugas orang tua baru dikatakan sempurna jika sudah mengawinkan anak atau yang disebut mantu. Menjodohkan anak menurut wewarah luhur diharapkan menjadi sarana melahirkan keturunan yang dapat menyambung sejarah kehidupan kedua dinasti keluarga.

Tradisi upacara pernikahan di Jawa umumnya mengacu pada kebiasaan yang diadakan di Kraton, baik Kraton Yogyakarta maupun Kraton Surakarta. Hal ini disebabkan kedua daerah tersebut, dahulu merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan yang hingga saat ini tetap menjadi sentral akan kebudayaan seni dan sastra Jawa itu sendiri. Bagi rakyat Jawa, kraton tidak hanya diresapi sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan. Kraton adalah tempat raja bertahta, sekaligus sumber kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan dan kesuburan. Kraton dianggap sebagai sumber tatanan dan tuntunan upacara yang berkenaan dengan tingkatan perjalanan hidup atau daur hidup.

Para ahli ilmu Antropologi menyebutnya sebagai stages along the life cycle, yakni tingkatan rotasi kehidupan yang dimulai dari masa bayi, kanak-kanak, dewasa, menikah, masa tua dan akhirnya meninggal dunia. Banyak orang yang beranggapan bahwa ada kalanya perjalanan hidup manusia akan melewati sebuah fase kritis. Terlebih ketika masa peralihan, misalnya perkawinan, kehamilan, kelahiran, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masa-masa kritis yang timbul saat masa peralihan, manusia berupaya mengatasinya dengan cara menggelar upacara-upacara tertentu. Pada prosesi pernikahan, usaha untuk mencapai hidup bahagia lahir dan batin dilambangkan dengan tata rias dan kelengkapannya, termasuk perhiasan dan busana yang dikenakan. Kain batik, misalnya.

Makna di Balik Sehelai Kain

Tata rias pengantin Jawa mempunyai simbol-simbol yang berkaitan dengan falsafah hidup orang Jawa yang bernilai tinggi dan bermakna dalam. Masyarakat Jawa percaya dan meyakini, bahwa makna yang terkandung dalam lambang tata rias pengantin khususnya dalam pemakaian kain batik dengan motif tertentu, tidak boleh sembarangan. Sebab hal ini akan mempengaruhi kehidupan pengantin di masa depan. Betrbagai motif kain batik yang kerap digunakan pasangan pengantin gaya Yogyakarta, yakni motif grompol, truntum, cakar ayam, simbar lintang, parang kusuma, sida luhur, sida mukti, sida asih, semen ageng. Masing-masing motif kain batik tersebut memiliki beberapa variasi lagi, dan secara konotatif mempunyai arti lambang yang berbeda, tetapi mempunyai pengertian makna yang sama, yaitu pengertian mengenai hidup, cinta dan kebahagiaan.

Motif Batik Grompol

Motif batik grompol termasuk dalam kelompok motif ceplok. Kata grompol mempunyai makna dompol-grombol yakni kumpulan barang. Diharapkan dalam kehidupannya pemakai motif tersebut layaknya sebuah pohon yang sarat akan bunga dan buah yang ranum. Sesuai dengan fungsinya dalam upacara perkawinan, kain tersebut dikenakan pada waktu upacara siraman oleh calon pengantin. Diharapkan pengantin yang mengenakan motif grompol, mempunyai masa depan yang cerah, senantiasa mendapatkan rahmat, banyak anak, banyak rejeki, rukun, tentram, sejahtera, dan damai selama-lamanya.

Motif Batik Truntum

Batik ini termasuk kelompok motif ceplok. Motif truntum terletak pada bidang berbentuk segi empat. Motif tersebut menggambarkan bunga. Pemakaian kain yang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tumbuh lagi itu, diharapkan di dalam hidup berkeluarga hendaknya selalu terjadi hubungan yang harmonis, penuh kasih sayang, baik kehidupan suami istri, hubungan antara anak dengan orang tua, hingga dalam hubungan bermasyarakat. Motif truntum biasanya dikenakan oleh kedua orang tua mempelai pada saat upacara midodareni dan panggih.

Motif Batik Cakar Ayam

Motif batik cakar ayam termasuk motif ceplok yang tersusun atas garis putus-putus, titik titik, dan variasinya yang sepintas lalu seperti motif pada anyaman. Motif batik cakar ayam tersusun menurut bidang geometris. Ditinjau dari arti katanya cakar ayam berasal dari kata cakar dan ayam. Disebut demikian karena kesan pertama yang tampak dan menonjol adalah motif yang membentuk jari-jari ayam. Kegiatan ayam dalam upaya mencari makan dengan cara menggunakan cakarnya melambangkan semangat hidup manusia di masa mendatang. Sesuai dengan fungsinya motif cakar ayam mengandung harapan dapat mencari nafkah sendiri, banyak rejeki, banyak anak, tenteram dan sejahtera sepanjang masa.

Motif Batik Simbar Lintang

Motif ceplok yang menggambarkan rupa angkasa yang bermandikan cahaya bintang di malam hari. Pola batik simbar lintang terdiri dari motif bersimbar bertajuk empat dan motif bunga bertajuk delapan. Motif tersebut memiliki arti serupa dengan jantra atau cakar, yang dalam kepercayaan Hindu Jawa dianggap sebagai lambang hidup yang kekal. Simbar lintang memiliki makna, agar pasangan pengantin senantiasa mendapatkan anugerah yang berupa kesentosaan, kebahagiaan, makmur sandang pangan, dan sejahtera selama-lamanya. Batik simbar tersebut dikenakan sebagai busana pengantin pria dan wanita dalam upacara sepasaran.

Motif Batik Parang Kusuma

Motif ini terdiri dari unsur motif api dan motif mlinjon. Motif-motifnya tersusun menurut garis diagonal, motif api atau motif parang posisinya bertolak belakang dengan motif mlinjon yang berbentuk segi empat belah ketupat. Di tengah motif api terdapat dua motif bunga kecil bertajuk tiga dan saling bertolak belakang. Motif batik parang kusuma biasanya digunakan untuk busana pengantin Kasatrian Ageng. Pengertian bunga sama dengan kusuma yang bermakna generasi harapan. Batik ini merupakan busana putra-putri Sultan yang semula digunakan untuk malem selikuran. Namun kini menjadi busana pengantin.

Motif Batik Sida Luhur

Motif batik sida luhur dapat digolongkan ke dalam motif semen. Pola ini menggambarkan proses hidup (semi) di bumi. Sida luhur berasal dari kata sida dan luhur. Sida mempunyai arti jadi atau menjadi, sedangkan luhur mengandung pengertian terpuji, tinggi dan berwibawa. Pola batik sida luhur terdiri dari motif meru, pohon hayat, burung, tumbuh-tumbuhan dan sawat (garuda bersayap satu). Motif meru melambangkan puncak gunung yang tinggi tempat bersemayamnya para dewa, yang menebar keadilan di muka bumi. Motif pohon hayat merupakan simbolisasi dari kehidupan dan kemakmuran. Motif burung melambangkan elemen hidup dari udara (angin) dan melambangkan watak luhur. Motif sawat melambangkan matahari, mahkota, kejantanan, dan bermakna tabah. Berbagai arti yang tersemat dalam motif-motif tersebut dapat dikemukakan bahwa si pemakai mempunyai pengharapan agar hidupnya kelak bahagia, mempunyai pangkat yang tinggi, adil, berbudi luhur, dan tabah menghadapi badai kehidupan. Menurut fungsinya motif ini dikenakan oleh pengantin dan kedua orang tua mempelai pada upacara panggih.

Motif Batik Sida Mukti

Motif Batik Sida Mukti juga digolongkan kedalam motif semen. Sida Mukti berasal dari kata Sida dan Mukti. Sida berarti jadi atau menjadi, sedangkan mukti bahagia. Pola batik sida mukti mempunyai motif yang terdiri dari kerang, pohon hayat, burung, bintang, sawat dan garuda. Motif kerang menggambarkan dunia bawah atau air, yang berarti kelapangan hati. Motif pohon hayat melambangkan dunia tengah yang mengisyaratkan makna kehidupan dan kemakmuran. Motif bintang melambangkan kesentosaan, makmur sandang pangan. Yang mewakili sifat tabah pada kain batik sida mukti, dilambangkan dengan motif sawat perisai yang berwujud satu sayap burung garuda. Sedangkan kepemimpinan, kejantanan, disimbolkan dengan motif burung garuda. Secara keseluruhan berbagai simbolisasi mengandung pengharapan bahwa si pemakai dapat hidup bahagia, makmur sentosa, punya kedudukan tinggi, bersifat pemurah terutama kepada orang yang dipimpinnya, dapat melaksanakan tugas kepemimpinan sebaik-baiknya dan tabah dalam menghadapi cobaan. Dikenakan oleh pasangan pengantin pada upacara panggih.

Motif Batik Semen Ageng

Nama ragam hias semen ageng berasal dari kata semen dan ageng. Semen berarti tunas maksudnya adalah tumbuhnya tanaman sehingga membuat indahnya alam. Ageng berarti besar, maksudnya motif batik yang hanya boleh digunakan oleh raja dan kerabatnya. Pola batik semen ageng mempunyai unsur-unsur yang terdiri dari motif meru, lidah api, burung, perahu, pusaka dan motif sawat. Motif perahu melukiskan dunia dasar laut (air), melambangkan lapang hati atau lapang dada. Motif pohon hayat menggambarkan perlambangan dari dunia tengah yang mengisyaratkan makna kehidupan dan kemakmuran. Motif pusaka melambangkan kesaktian, kekuasaan, dan kemakmuran. Motif sawat simbol dari perisai yang berwujud satu sayap burung garuda, yang mengkiaskan sifat tabah. Pemakai motif ini berpengharapan agar di kemudian hari dapat hidup bahagia, dapat menjadi pemimpin yang berbudi luhur, mempunyai sifat lapang dada, selalu tabah menghadapi cobaan, sehingga dapat menunaikan tugas sebaik-baiknya. Dikenakan oleh pengantin pria dan wanita pada upacara panggih.

Selain beberapa motif kain batik yang sudah disebutkan, sebenarnya ada kain lain yang merupakan ciri dari pengantin gaya Yogyakarta, yaitu penggunaan kain cindhe. Kain cindhe ialah corak kain yang khusus dikenakan pengantin corak paes ageng. Konon karena keterbatasan jumlahnya, membuat harga kain tersebut terbilang premium. Konon kain ini dikeramatkan dan hanya dikenakan raja serta kerabat raja saja. Di lingkungan kraton kain cindhe di fungsikan sebagai tutup pusaka, kelambu senthong tengah, alas buntal di pasren: kain sutera sebagai persembahan dan cindera mata dari kerajaan Cina yang tidak diproduksi lagi. tinggi, adil, berbudi luhur, dan tabah menghadapi badai kehidupan. Menurut fungsinya motif ini dikenakan oleh pengantin dan kedua orang tua mempelai pada upacara panggih.

Foto Sujanto Huang koleksi kain Novi Arimuko


LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP