Perjanjian Giyanti tahun 1755 menjadi titik puncak perpecahan yang mengakhiri Dinasti Mataram. Setelah sekian lama berdiri, riwayat Kerajaan Mataram pun usai dengan pembagian wilayah menjadi dua bagian, yakni Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta) dan Kasunan Surakarta Hadiningrat (Solo). Perpecahan itu juga berimbas pada tata cara pernikahan hingga perlengkapan yang dahulu sama. Salah satunya prosesi wijikan (Yogyakarta) dan ngidak tigan (Solo), yang sejatinya mempunyai inti sama, yakni membasuh kaki mempelai pria. Apa saja perbedaannya? Yuk kita telusuri!

Wijikan (Yogyakarta)
Selain wijikan, ritual ini dikenal juga dengan sebutan ranupada. Dalam bahasa Jawa, ‘ranu’ memiliki arti air dan ‘pada’ diartikan kaki, maka jika diartikan secara lengkap, ritual ranupada bermakna membasuh kaki. Dalam konteks ini, kaki yang dimaksud milik mempelai pria yang dibasuhkan oleh mempelai wanita. Ritual tersebut mencerminkan wujud bakti istri kepada suami. Selain itu, wijikan juga bertujuan untuk menghilangkan rintangan agar tercipta keluarga bahagia serta dijauhkan dari kesusahan dan marabahaya.
Tahapan pelaksanaannya diawali ketika kedua kaki mempelai pria masuk pada kotak persegi panjang yang telah diberi irisan daun pandan bercampur bunga melati, yang kemudian akan dibasuh dengan air bunga setaman. Setidaknya tiga kali mempelai wanita membasuhkan air bunga setaman pada kedua kaki mempelai pria. Dilanjutkan dengan mengelap kaki hingga kering. Setelah usai, mempelai wanita menghaturkan sembah sebagai baktinya. Mempelai pria yang sudah kembali memakai selop (alas kaki), kemudian membantu pasangannya berdiri. Ini merupakan wujud simbol perlindungan seorang suami kepada istri. Saling berhadapan, pemandu adat atau perias menyentuhkan telur ayam mentah pada dahi masing-masing mempelai. Selanjutnya telur tersebut dijatuhkan pada kotak persegi panjang tadi sampai pecah, seraya berharap agar kedua mempelai lekas mempunyai momongan yang berbudi baik.

Ngidak Tigan (Solo)
Tidak jauh berbeda, upacara ngidak tigan menyimpan harapan dan tujuan yang persis sama dengan wijikan. Pembasuhan kaki mempelai pria dikerjakan dengan penuh bakti seperti seharusnya sikap seorang istri yang wajib melayani suami dengan rasa ikhlas. Penginjakan telur oleh mempelai pria mengandung arti bahwa mempelai pria siap memberikan keturunan. Maka dari itu prosesi ini pun dikenal dengan sebutan wiji dadi yang bermakna penyatuan benih untuk melanjutkan keturunan.
Jelang pernikahan, perlengkapan seperti nampan bertabur irisan daun pandan, bunga melati, kelopak mawar dan kenanga; air bunga setaman; handuk kecil; serta telur ayam kampung mentah telah dipersiapkan untuk ritual ngidak tigan. Pertama-tama dalam upacara ini mempelai pria akan menginjak telur ayam kampung dengan kaki kanannya di atas nampan. Wujud bakti mempelai wanita terlihat ketika kaki mempelai pria dibasuh lembut dan dikeringkan dengan handuk kecil. Menyatukan kedua telapak tangannya, mempelai wanita menghaturkan sembahnya kepada mempelai pria, lalu mempelai pria menyambut dengan mengulurkan tangan guna menolong pasangannya berdiri.
Berharap mendapat ketenangan serta kesabaran dalam menghadapi biduk rumah tangga, kedua orang tua mempelai wanita membasuh tengkuk pasangan mempelai dengan air suci. Usai hal tersebut, kedua mempelai yang telah berdiri berdampingan kembali berjalan menuju singasana pelaminan.
Perbedaan yang jelas terlihat dari kedua ritual adat ini adalah jika pada wijikan telur hanya disentuhkan pada dahi kedua mempelai, dan dipecahkan oleh pemandu adat atau perias. Sedangkan pada prosesi ngidak tigan (Solo) telur ayam kampung dipecahkan dengan cara diinjak oleh mempelai pria di atas nampan yang telah ditaburi campuran irisan pandan dan bunga melati.
Teks: Mery Desianti
Foto: Endah Photography And Video, Fanfani Arsyad, Pio Kharisma (Senia dan Ari), Faceboxx (Andrian dan Santi)