Hikayat Wastra Ranah Dewata-Bagian Kedua

Selain kain songket, gringsing, dan endek, masih ada jenis wastra Bali yang tidak dapat dipungkiri keunikan dan keindahannya. Masyarakat Bali yang tidak dapat dipisahkan dari budaya dan agamanya yang terkenal kuat, sangat memperhatikan jenis kain yang dipakai untuk ritual agama dan ritual adat. Sebab bagi mereka motif dan warna melambangkan arti khusus yang tidak boleh sembarangan dipakai di acara yang tidak pada tempatnya.

Berikut kelanjutan jenis wastra Bali dari penggalan artikel minggu lalu;

Kain Cepuk. Adalah kain yang diberi ragam hias dari teknik ikat yang disebut endek. Bagi masyarakat Bali, kain ini memiliki nilai sakral. Sebab biasanya dikenakan oleh para pendeta, dukun, serta pembuat sesaji. Kain ini juga kerap digunakan sebagai kostum tari Barong, Rangda, dan sebagai penutup peti jenasah. Kata cepuk sendiri memiliki arti bertemu, yang maknanya suatu pertemuan antara makhluk fana dan gaib.

Kain Keling. Wastra ini memiliki kotak-kotak sederhana dengan dominasi warna kuning. Konon, asalnya dari daerah Keling, Orissa, India. Dalam kehidupan masyarakat Bali, kain ini dipakai sebagai bagian dari busana wanita, ketika upacara potong gigi dan nutug kelih (akil baliq).

Kain Poleng. Seperti halnya kain keling, kain ini juga bermotif kotak-kotak sederhana. Dominasi warna hitam dan putih menjadi ciri khasnya. Kain ini biasa digunakan sebagai penghias patung, sanggah (tempat suci di pekarangan rumah) ataupun benda lain yang dianggap sakral. Kombinasi warnanya sendiri memiliki arti magis bagi masyarakat Bali, yakni sebagai simbol keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk.

Kain Prada. Kain yang memiliki motif flora dan fauna ini, juga memiliki fungsi yang tak kalah penting untuk masyarakat Bali. Teknik pembuatan hiasan yang tertatah di kainnya juga terbilang unik, yakni dengan cara menempelkan prada di atas selembar kain. Dahulu kain ini sangat digemari oleh kaum bangsawan di Bali, karena memiliki karakter warna yang mewah. Sedangkan kini, kain prada banyak dipergunakan sebagai kostum tari.

Berdasarkan ragam motif hias, kain tenun Bali terbagi atas lima kelompok:

Motif Hias Berulang. Ciri hiasannya berupa garis lurus, garis putus-putus, lengkung, lingkaran, polek (kotak-kotak), belah ketupat, berbiku-biku, segi enam, tumpal (segitiga), gigi barong, gonggongan, swastika, kuta mesir, serta tampak dara atau garis silang.

Motif Hias Tumbuhan. Motif yang tertatah pada kain terinspirasi dari bentuk buah-buahan dan tumbuhan; ranting, bunga teratai, kembang labu, mentimun, anggur, dan lain sebagainya.

Motif Hias Binatang. Berbagai jenis satwa kerap menjadi inspirasi dari motif tenun Bali. Yang populer seperti, singa, lembu, burung merak, burung cendrawasih, burung merak, gajah, kupu-kupu.

Motif Hias Manusia. Ragam motif hias yang biasa digunakan, mulai dari cili, wayang, topeng berbentuk wajah manusia. Konon, motif-motif tersebut menyimbolkan penghormatan masyarakat Bali pada ruh suci leluhur. Tak jarang motif tersebut juga digunakan sebagai penolak bala dan mengusir ruh jahat.

Motif Hias Prembon. Berdasarkan arti dari prembon, yakni kombinasi, maka bentuk motif hias ini merupakan padu-padan dari berbagai motif yang ada. Tidak heran kalau motif prembon sering menghasilkan berbagai bentuk visualisasi baru yang berbeda satu sama lain.

Teks: Teddy Sutiady
Foto: Sujanto Huang dan dokumentasi Rumah Pesona Kain

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP