Foto Yan Aluwi - Mottomo Photography Kebaya Poppy Karim
Merendahkan Martabat
Ketika Inggris menduduki Hindia Belanda di awal abad XIX, para perempuan Eropa dilarang mengenakan busana penduduk setempat karena dianggap merendahkan martabat. Namun hal ini tidak berlangsung lama, seiring dengan perginya Inggris dari Hindia Belanda, para perempuan Eropa, terutama perempuan Belanda dan Indo Belanda, kembali mengenakan kebaya renda dan sarung batik. Pada saat itu bahan bakunya voil, paris, batist, diimpor langsung dari Eropa. Demikian pula rendanya. Umumnya renda-renda yang digunakan dikenal dengan renda Carrickmacross dari Inggris atau Chantily dari Prancis. Penggunaan aneka bahan impor ini tidak hanya bertujuan membuat kebaya para perempuan Belanda atau Indo Belanda menjadi terlihat cantik, tapi sekaligus sebagai penanda kelas sosial. Hanya perempuan Belanda dan Indo Belanda dari kelas atas yang mampu menggunakan kebaya renda dari bahan-bahan tersebut.
KEBAYA ENCIM DAN KEBAYA NYONYA
Sebagian pendapat mengatakan bahwa kebaya Encim sama dengan kebaya Nyonya. Itu benar, tetapi harus diingat bahwa istilah kebaya Nyonya kurang dikenal dalam khazanah kebaya di Indonesia. Istilah ini justru popular di Malaysia karena kata “nyonya” sebenarnya mengacu pada perempuan Cina Peranakan di negara jiran ini.

Foto Timur Angin Kebaya Anne Avantie
Persamaan Hak
Pada 1910, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan untuk kewarganegaraan yang berlaku di semua tanah jajahannya (wet op het Nederlandsch Onderdaan) yang menyatakan bahwa semua warga non pribumi – terutama dari kelas atas dari keturunan Arab, India, dan Cina Peranakan – disamakan haknya dengan warga negara Belanda. Otomatis, mereka diijinkan untuk bergaya seperti warga Belanda. Sejak saat itu lah kebaya renda tidak lagi menjadi hak eksklusif para perempuan Belanda dan Indo Belanda. Kebaya dengan bahan agak tempus pandang ini boleh dikenakan oleh para perempuan keturunan Arab, India, dan Cina Peranakan. Mulai saat itulah – terutama di lingkungan Cina Peranakan – para perempuannya muncul kebaya renda yang serba putih.
Sumpah Pemuda
Pada awal abad XX, ketika terjadi peristiwa Soempah Pemoeda pada 1928, wanita Belanda dilarang oleh Pemerintah Belanda berpakaian seperti masyarakat “pribumi”. Mereka akan dicap sebagai pro pemberontak jika mengenakan kebaya. Sejak itulah kebaya renda ditinggalkan para wanita Belanda. Sebaliknya wanita Indonesia yang nasionalis, lebih memilih mengenakan kebaya ketimbang rok dan blus.
Kebaya renda yang telah ditinggalkan oleh sang pemilik, diadopsi oleh masyarakat Cina Peranakan – yang merasa lebih Indonesia ketimbang Cina atau pun Belanda – dan digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Secara perlahan-lahan bentuk kebaya renda mengalami evolusi, agak ketat dan mengikuti lekuk tubuh, bagian belakang memendek sepinggul dan bagian depan meruncing. Pada saat yang sama dikenal pula kebaya kerancang, bahan utamanya sama dengan kebaya renda, namun rendanya dibuat dari bordir kerancang.
Selaras Budaya
Sementara di lingkungan perempuan Cina Peranakan, secara berangsur, kebaya renda berwarna putih pun mulai ditinggalkan karena warna putih yang dominan dianggap kurang selaras dengan budaya Cina. Dalam budaya Cina, warna putih menyimbolkan suatu kekosongan, kehampaan, yang menggambarkan kesedihan dan kematian. Kebaya renda yang dominan putih, perlahan-lahan tampil mulai berwarna dengan sulam halus di bagian-bagian tertentu – biasa berwarna merah atau kuning – tanpa merusak pola renda secara keseluruhan. Sebaliknya renda terlihat lebih indah, lebih dimensional, dan lebih hidup. Demikian pula dengan kebaya kerancang, tidak lagi tampil putih polos, tetapi tampil dengan aksen warna pada bagian-bagian tertentu.
Setelah itu, lahirlah kebaya dengan bahan berwarna lembut atau warna mencolok yang dihiasi aneka sulam dan bordir warna-warni yang tampil dalam bentuk flora, fauna yang memiliki nilai simbolik dalam budaya Cina. Misalnya saja, bunga lotus, peoni, burung hong, ayam, ikan mas koki, dan lain sebagainya. Pada awalnya, tampil dengan sarung Batik Belanda – dengan corak flora – namun seiring waktu dipadu dengan Batik Cina. Umumnya batik yang dibuat di pesisir Jawa dengan corak aneka flora dan fauna khas budaya Cina yang dikombinasi dengan aneka isen (terutama tanahan).
Menyembunyikan Identitas
Kemudian di tahun 40-50-an, kebaya Encim mengalami masa pengayaan yang luar biasa. Tidak hanya sekadar putih polos berenda, tetapi tampil pula dengan berbagai jenis dan corak bahan. Ada yang terbuat dari bahan bercorak kotak-kotak yang diberi renda, atau berbahan polos dengan corak bunga yang disulam, atau dengan corak yang tersebar di seluruh bagian kebaya. Masa kejayaan kebaya Encim akhirnya berakhir saat terjadinya pergerakan G 30S PKI dan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Cina. Masyarakat Cina Peranakan enggan menonjolkan identitasnya – terutama generasi muda – sehingga kebaya Encim ditinggalkan. Kebaya ini kembali disukai pada tahun 70-an dan puncaknya setelah Reformasi di tahun 1998 hingga sekarang. Tampil dalam berbagai bahan dengan aplikasi renda dan sulam yang lebih kaya. Tidak hanya dikenakan oleh masyarakat Cina Peranakan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.

Foto Dok. Bin House
Busana Nasional
Sebelum Sumpah Pemuda, bagi banyak wanita di Indonesia, kebaya masih dianggap sebagai pakaian daerah. Kebaya mampu mengatakan dari mana seseorang itu berasal. Namun setelah Sumpah Pemuda kebaya identik dengan pakaian nasional, dari mana kebaya itu berasal, dan bagaimana pun bentuknya. Tidak hanya wanita Jawa dan Sumatra saja yang tampil berkebaya pada kesehariannya, namun diikuti pula oleh wanita-wanita dari pulau-pulau lain di Indonesia. Hal ini makin diperkuat saat Proklamasi ketika Ibu Negara, Ibu Fatmawati, tampil berkebaya di padu kain panjang batik dan Presiden Soekarno sempat “memproklamirkan” bahwa kebaya merupakan busana nasional.
Sejak saat itu, banyak wanita yang lebih memilih tampil berkebaya – biasanya kebaya kutubaru – yang dipadu dengan kain panjang batik Solo atau Yogya sebagai busana yang dipakai pada acara-acara resmi. Pada jamuan kenegaraan atau pun acara militer, para istri pejabat dan angkatan perang selalu tampil dengan kebaya jenis ini. Pada saat ini terjadi perkembangan di mana kebaya mulai tampil dengan selendang kecil. Selendang kecil seperti ini dikenal dengan istilah selendang sodagaran. Konon asalnya para saudagar – terutama wanita – pada jaman dulu membawa selendang yang di salah satu ujungnya digunakan sebagai penyimpan uang – seperti dompet – hasil dagangan. Namun, siapa yang memulai dan kapan tepatnya dimulai, selendang kecil ini digunakan bersama dengan kebaya kutubaru tidak bisa dipastikan.
Fatmawati dan Dewi Soekarno
Kebaya semakin popular dan sempat membuat bangsa lain tercengang ketika Presiden Soekarno bersama Ibu Negara Fatmawati mengunjungi Filipina pada tahun 1951. Pada saat makan malam di Istana Malacanang, penampilan Ibu Fatmawati yang anggun berkebaya sempat mencuri perhatian dan menjadi buah bibir para tamu di sana.
Kain dan kebaya benar-benar membuat penampilan seorang wanita menjadi sangat feminin. Bahkan Dewi Soekarnoputri yang berdarah Jepang tak pernah lepas dengan ekbaya dan kain batik di wiru saat mendampingi Presiden Soekarno pada acara-acara resmi negara. Di jaman itu tiada ada busana remi yang paling cocok selain kebaya dan kain batik. Dan kebaya semakin menancapkan kukunya sebagai busana nasional wajib yang dikenakan pada acara-acara resmi.
Sampai dengan tahun 60-an, kebaya yang popular tetap tampil dengan bentuk aslinya - panjang sepinggul dengan gaya bukaan yang beragam. Kebaya Kartini tampil dengan bukaan depan mirip dengan Kebaya Renda. Kebaya Kutubaru tampil dengan lingkar leher segi empat dan penutup bagian depan yang hanya sampai sebatas perut. Bagian perutnya terbuka dan biasanya ditutup dengan stagen yang terbuat dari bahan aneka warna tau corak jumputan. Kebaya panjang tampil mirip dengan kebaya Kartini namun memilikipanjang hingga sebatas lutut atau di atas lutut.

Foto Dok. Istimewa
Teks Anton Diaz