Belum ke Turki apabila belum ke Cappadocia. Begitu ungkapan yang sering terdengar dari mereka yang telah berulangkali mengunjungi Turki. Karenanya, setelah dua hari penuh menjelajahi kecantikan Istanbul, kami pun beranjak ke kota yang terkenal keunikannya ini. Nama Cappadocia sendiri diyakini diambil dari kata Persian Kuno Katpaktukya yang berarti Wilayah Dengan Kuda Yang Indah. Konon pada masa Romawi Kuno, kuda – kuda indah berasal dari Cappadocia ini, namun kami tak melihat satu kuda pun sepanjang berada di kota ini.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, kami mendarat di bandara Kayseri. Salah satu kota terdekat dari Nevsehir, kota dimana wilayah Cappadocia berada. Perjalanan darat dari Kayseri melewati gunung Erciyes, gunung terbesar ketiga di Turki dengan ketinggian 3.917 meter di atas permukaan laut. Perbedaan pun jelas kami rasakan. Setelah menikmati Istanbul yang dinamis, wilayah ini terasa begitu tenang, seakan waktu berjalan lambat, tak ada kesibukan yang membuat warganya harus tergesa.

Sebelum berangkat, kami mendapat kabar bahwa salju tengah turun di Cappadocia, yang artinya suhu udara akan berada di angka yang sangat rendah. Kami, warga tropis yang baru saja berusaha beradaptasi dengan dinginnya Istanbul pun bersiap menyambut udara yang lebih dingin di kota ini. Namun sepertinya persiapan kami masih kurang, begitu turun dari bus untuk makan siang di Rumah Makan Surbalik yang terletak di pinggir Sungai Merah, udara yang dingin menggigit langsung menyergap. Meski sempat beberapa menit berada di luar karena terpesona akan keindahan pemandangan di sekitar rumah makan, dingin yang menusuk tulang memaksa kami untuk segera masuk dan menghangatkan diri.
Cave Hotel & Open Air Mapping
Mampir sejenak di sebuah toko souvenir, berlanjut menjadi acara foto-foto dan eksplorasi pemandangan indah yang ada di bawah toko. Kondisi wilayah Cappadocia yang berkontur dengan formasi bebatuan unik, memang memungkinkan kita berada di dataran tinggi di satu saat, dan di dataran rendah di saat yang lain. Bagi Anda yang pernah menonton film The Flinstones, tentu masih ingat kondisi tempat tinggal Fred Flinstones. Di sini kita diajak merasakan kehidupan di zaman batu tersebut. Kemana mata memandang bebatuan berwarna kecoklatan hadir dalam berbagai bentuk. Erupsi gunung-gunung berapi yang terjadi 2 milyar tahun yang lalu, dilanjutkan dengan proses alami oleh angin dan air yang berlangsung secara terus menerus telah menghaluskan bebatuan tersebut hingga menghasilkan fairy chimney atau cerobong peri dalam ragam rupa seperti topi, jamur, ataupun kerucut. Beberapa batu dan tanah yang digali oleh penduduk untuk dijadikan tempat tinggal pun mengalami hal yang sama, hingga beberapa rumah gua yang ada pun berbentuk seperti kerucut.
Sore telah menjelang ketika kami beranjak dari toko suvenir Kapten Osman tersebut dan menuju ke hotel. Sebuah hotel gua yang unik, mengajak kami merasakan pengalaman hidup ala penghuni gua Cappadocia. Meski buatan, namun sensasi hidup didalam gua batu dengan suhu udara berkisar di 3-7° mampu memberikan sensasi tersendiri.

Malam pertama di Cappadocia kami isi dengan menyaksikan pertunjukkan Open Air Mapping di Goreme Open Air Museum. Bercerita mengenai sejarah terbentuknya Turki, gambar-gambar warna-warni direfleksikan pada dinding-dinding batu, begitu indah dan memukau. Malam itu kami belajar bagaimana Turki sebagai sebuah negara, berdiri. Melewati berbagai peperangan, hingga akhirnya kini menjadi negara sekuler yang begitu indah dengan berbagai peninggalan. Duduk beralaskan bantal kecil di atas batu dan rerumputan, diterpa dingin yang begitu menggigit, namun semua seakan sejenak terlupa saat kami terpesona pada pertunjukkan yang begitu luar biasa.
Foto : Alexander Thian & Setia Bekti