Kirab Pengantin Kraton Ngayogyakarta dan Kharisma Sang Sultan

Waktu menunjukkan pukul 06.00 ketika saya meninggalkan hotel rabu pagi, 23 Oktober 2013. Hari ini adalah hari terakhir dari rangkaian pawiwahan agung Kraton Yogyakarta, putri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hayu dengan KPH Notonegoro. Di hari ini pula digelar kirab pengantin dari Kraton menuju kantor Gubernur DI Yogyakarta, atau sering pula disebut dengan Kepatihan. Udara pagi yang sejuk dan jarak yang tidak terlalu jauh membuat saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju kantor Kepatihan yang terletak di Jalan Malioboro. Dan pemandangan yang ada membuat saya cukup terkejut, karena ternyata sepagi itu Jalan Malioboro telah mulai dipenuhi oleh masyarakat yang ingin menyaksikan kirab tersebut.

Antusiasme ini tak hanya berasal dari warga seputar Yogyakarta, banyak juga yang sengaja datang dari luar Yogyakarta, seperti Purworejo juga Kulonprogo, demi untuk menyaksikan kirab. Maklum, ini adalah kali terakhir Sultan menikahkan putrinya. Setelah ini, entah kapan lagi warga dapat menyaksikan dari dekat pengantin Kraton Yogyakarta yang diarak menggunakan kereta kencana khas Kesultanan Ngayogyakarta. Sekolah pun memilih libur dan mengajak muridnya untuk menyaksikan secara langsung acara yang sarat dengan muatan tradisi ini. Tak heran bila semakin siang, warga semakin tumpah ruah, memadati sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan A. Yani, dimana menjadi jalur utama menuju Kepatihan.

Lepas beberapa menit dari pukul 09.00 pagi, diiringi suara tabuhan genderang, para prajurit Kraton yang terlihat begitu gagah dalam baju kebesaran mereka, mengawali rombongan kirab. Kereta pertama pun mulai memasuki gedung Kepatihan, disusul dengan Kereta Kanjeng Kyai Jongwiyat yang dinaiki oleh GKR Hayu dan KPH Notonegoro. Rona bahagia tergambar jelas di wajah kedua pengantin yang berbalut busana pengantin Paes Ageng Jangan Menir warna hijau toska. Senyum mereka pun terus mengembang sambil melambaikan tangan kepada masyarakat yang menyambut dengan begitu antusias. Kebahagiaan tampaknya bukan hanya dirasakan oleh kedua pengantin, tetapi juga oleh setiap masyarakat yang menyaksikan.

Setelah rombongan pertama yang membawa pengantin tiba di Kepatihan, rombongan kedua pun berangkat dari keraton, terdiri dari Sri Sultan HB X dan GKR Hemas yang menaiki Kereta Kanjeng Kyai Wimono Putro, para putri keraton beserta pasangan, dan kerabat Pakualaman IX. Antusiasme warga tak sedikitpun berkurang, justru lebih semangat lagi menyambut rombongan ini. Pasalnya, pada pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara dua tahun lalu, Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas tidak ikut menaiki kereta kencana. Sedangkan, lantaran ini adalah kali terakhir orang nomor satu di Yogyakarta ini menikahkan putrinya, maka beliau berkenan ikut menaiki kereta kencana sambil menyapa rakyatnya.

Rasa haru bercampur kagum memenuhi rongga dada. Dari sekian banyak pulau, dari sekian banyak propinsi, hanya di Yogyakarta kita dapat menyaksikan pemandangan seperti ini. Seorang Sultan yang begitu dicintai rakyatnya hingga rela berdesak-desakkan demi melihat pemimpin mereka dari dekat. Seorang pemimpin yang begitu kuat menjaga tradisi sekaligus mengajak rakyatnya untuk terus maju dan berkembang. Tak heran, ditengah serbuan berbagai budaya luar seperti K-Pop dan sejenisnya, masyarakat Yogyakarta tak pernah berhenti berkreasi. Ragam kreativitas yang tertuang dalam berbagai bentuk, seperti fesyen, kuliner, dan sebagainya selalu memberikan nilai tersendiri. Menjadikan tradisi tak akan pernah mati karena terus menerus dijaga dan diperbaharui.

Teks : Setia Bekti
Foto : Dok. Keraton Yogyakarta

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP