Langgam Batik Ranah Pasundan

Batik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah kain bergambar yang dibuat secara khusus dengan menerakan (menuliskan) malam (lilin batik) pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Usai proses tersebut, maka akan terciptalah selembar wastra (kain) yang memiliki cita rasa seni dan sarat makna. Konon, seni kain batik sudah ada semenjak masa kerajaan Majapahit –sekitar tahun 1293 M.

Pada awalnya, batik adalah salah satu budaya yang berkembang di lingkup keraton saja. Biasanya kain batik dijadikan bahan busana untuk raja, keluarga dan para abdi dalem (pegawai keraton). Lantaran banyak dari pegawai itu yang tinggal di luar tembok kraton, maka kesenian batik pun terbawa keluar kraton. Yang kemudian ditiru oleh penduduk yang tinggal tak jauh dari keraton.

Di akhir abad XVIII, pamor kesenian batik kian mendapat tempat di hati rakyat nusantara, khususnya masyarakat suku Jawa. Seiring berjalannya waktu, seni wastra batik meluas hampir di seluruh penjuru mata angin pulau Jawa. Salah satunya di daerah Jawa Barat. Keberadaan batik di ranah pasundan ini berkaitan erat dengan kedatangan para pengungsi akibat pecah perang Diponegoro tahun 1825-1830. Sebagian pengungsi itu, adalah pembatik dari wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Mereka menetap dan memberikan pengaruh terhadap ragam dan corak batik di Tatar Sunda, khususnya Ciamis, Indramayu, dan Tasikmalaya. Konon, corak, ragam, dan motif batik provinsi ini berjumlah lebih dari 3.000 jenis.

Di Cirebon, batik berkembang di Trusmi, sementara di Indramayu di Paoman. Sedangkan di Tasikmalaya berkembang di Kecamatan Sukaraja dan Cipedes, di Garut ada di Kecamatan Tarogong. Setiap daerah tersebut mempunyai corak dan motif tersendiri yang khas sehingga timbul sebutan Trusmian, Darmayon, Tasikan, dan Garutan. Motif batik indramayu, misalnya, banyak mengambil unsur flora dan fauna yang menjadi ciri khas daerah pesisir. Sedangkan motif garutan mengambil tema kehidupan masyarakat sehari-hari, antara lain kendi, kupu-kupu, anyaman bambu, dan lain sebagainya.

Ya, seni kain batik memang telah menapaki rentang waktu yang lama dalam tatanan budaya Indonesia. Tidak mengherankan kalau hingga kini, kain batik masih digunakan sebagai busana adat pada ritual ataupun acara khusus, pada upacara pernikahan misalnya. Selain memiliki keelokan pada motifnya, batik merupakan kain esklusif, sebab tidak pernah ada helai kain batik yang benar-benar mirip satu sama lain.

Berikut ini beberapa motif kain batik yang biasa digunakan dalam upacara pernikahan adat Sunda:

· Pada Acara siraman wanita/pria mengenakan busana muslim, waktu ngais (pangkon) dalam acara "Ngecagkeun aisan" memakai aisan batik bercorak Sapu Jagat yang memiliki arti membersihkan atau menyucikan jiwa dan raga di rumah masing-masing.

· Pada acara Ngeuyeuk Seureuh atau waktu Narosan (lamaran) menggunakan nuansa yang sama yaitu; Pria memakai Sarung Poleng yang berarti menjadi pemimpin yang bijak (tidak keras, tidak lemah, seperti sarung poleng yang dapat dikenakan oleh semua ukuran).

· Pada acara Akad nikah: Wanita/pria sama-sama mengenakan batik Sida Mukti yang memiliki arti mukti = sejahtera dalam mengarungi rumah tangga.

· Untuk acara pesta menggunakan kaen Rereng Eneng yang memiliki arti menjadi raja sehari. Biasa dipake oleh menak.

Teks Teddy Foto Vaessy

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP