Membelah Eksotisme Istanbul Melalui Laut Marmara

Foto : Barry Kusuma

Pesona Turki telah begitu lama tertanam di dalam benak saya. Jejak sejarah yang menghiasi setiap sudut negeri bak daya tarik yang mampu memikat setiap jiwa untuk datang berkunjung. Karenanya, ketika datang undangan dari Turkish Airlines untuk mengunjungi negeri eksotis ini, saya pun langsung mengiyakan tanpa berpikir dua kali. Peristiwa kudeta dan beberapa serangan teroris di Turki yang terjadi beberapa waktu sebelumnya memang sempat menjadi perhatian para wisatawan yang ingin berkunjung ke negeri ini. Namun semua kekhawatiran yang sempat hinggap di hati sirna begitu menginjakkan kaki di Istanbul, kota yang menjadi saksi bisu kejayaan dua kerajaan besar, Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Utsmaniyah.

Foto : Setia Bekti

Seperti negeri empat musim lainnya, bulan November adalah bulan dimana kita memasuki musim dingin. Dinginnya udara pagi pun langsung menyambut kami sesaat melangkah keluar dari Istanbul Atatürk Airport, setelah menempuh 11 jam perjalanan langsung dari Jakarta menuju Istanbul. Penuh antusiasme untuk mengeksplorasi negeri yang didirikan oleh Mustafa Kemal Atatürk ini. Suhu udara yang berada di kisaran 12-17°C terasa begitu dingin menggigit, namun tak mampu menyurutkan semangat kami, rombongan media dari Jakarta yang terbiasa dengan iklim tropis, dan berusaha melindungi dari dengan pakaian tebal berlapis. Keindahan kota dengan bangunan bersejarah dan lanskapnya yang begitu cantik menghibur kami sesaat mobil mulai bergerak meninggalkan kawasan bandara.

Bak seorang dara jelita, pesona kota Istanbul tak hanya tampak pada tampilan luar saja. Sebagai satu-satunya kota di dunia yang terletak di antara dua benua, Asia dan Eropa, perpaduan kedua benua ini terlihat dari kecantikan manusia dan kebudayaannya, serta tentu saja sejarahnya yang begitu panjang. Dihubungkan oleh jembatan yang menyatukan bagian Barat dan Timur, Istanbul hadir dengan dua kecantikan yang berbeda: kecantikan sejarah masa lalu dan keindahan modernitas masa depan. Tak salah rasanya bila kota yang pernah bernama Konstantinopel ini membanggakan diri sebagai salah satu kota modern di dunia yang berpadu dengan gereja, masjid, dan bangunan lain berusia ribuan tahun, peninggalan Kekaisaran Romawi dan Byzantium, dan Kekhalifahan Utsmaniyah.

Foto : Alexander Thian

Pierre Loti

The Pierre Loti Café yang berada di Pierre Loti Hill menjadi tujuan pertama kami dalam perjalanan menyusuri Istanbul. Sebuah tempat yang begitu romantis dengan pemandangan memesona. Namanya yang berbau Perancis sempat mengundang tanya di dalam hati. Ya, nama untuk bukit dan café yang berlokasi di daerah Eyup di kota lama Istanbul ini memang diambil dari nama seorang perwira Angkatan Laut Perancis yang juga penulis novel. Selama bertugas dan tinggal di Istanbul pada tahun 1876, ia jatuh cinta pada kehidupan Turki dan memilih menetap di sana. Di negeri Ottoman ini pula sang novelis jatuh cinta dengan gadis Turki, bernama Aziyade dan menuliskan kisah kasihnya dalam sebuah novel. Konon di bukit inilah proses penulisan novel yang menjadi masterpiece itu terjadi. Tempat dimana The Pierre Loti Café berdiri, dengan pemandangan indah The Golden Horn telah memberikan inspirasi kepada perwira Perancis tersebut.

Foto : Barry Kusuma

The Golden Horn sendiri adalah sebuah kawasan perairan atau selat yang memisahkan kota lama Istanbul di bagian selatan dengan kota baru di bagian utara. Kawasan yang berada di Teluk Istanbul ini dinamakan The Golden Horn atau Tanduk Emas karena bentuknya yang menyerupai tanduk bila dilihat dari ketinggian, dengan warna keemasan yang membias indah saat matahari terbit. Untuk mencapai Pierre Loti Café ini kita dapat menempuhnya dengan berjalan kaki, dengan jalan yang menanjak tentunya. Atau dengan menggunakan cable car sepanjang 500 meter yang dapat dinaiki dari Eyup Hill, dengan membayar tiket sebesar 4 Turkish Lira (sekitar Rp 16.000,-) untuk pulang pergi dan hanya memerlukan waktu tak lebih dari 5 menit sekali jalan. Sementara untuk menikmati keindahan kota Turki tersedia teropong pemantau dengan hanya memasukkan koin 1 Turkish Lira. Meski tertutup kabut tipis, panorama indah The Golden Horn yang terhampar di depan mata mampu membangkitkan romantisme di pagi yang dingin ditemani hangatnya secangkir kopi Turki.

Foto : Alexander Thian

Bosphorus Cruise

Romantisme yang terbangun setelah mengunjungi Pierre Loti Hill terus terbawa dalam perjalanan menuju tujuan berikutnya, yaitu Bosphorus Cruise. Sebuah cara menyenangkan untuk menikmati keindahan dan keunikan kota Istanbul. Sebuah kota yang terletak di antara dua benua, Asia dan Eropa, dan dipisahkan oleh selat Bosphorus sepanjang 32 kilometer yang menghubungkan Laut Marmara dan Laut Hitam. Tiba di dermaga, kami menaiki kapal yang disewa khusus, biasanya tergabung dalam paket tur dari operater travel. Bagi Anda yang tidak tergabung dalam paket tur tersedia kapal umum berkapasitas 50-60 orang dengan tarif 15 Turkish Lira per orang untuk 1 jam perjalanan. Tarif yang lebih mahal tersedia pula untuk mereka yang menginginkan perjalanan yang lebih jauh dengan waktu yang lebih panjang.

Foto : Alexander Thian

Terdiri dari dua lantai, kami semua memilih berada di dek kapal yang ada di lantai dua, menikmati indahnya pemandangan ditemani dinginnya embusan angin. Sisi kiri kami menyajikan beragam landmark dan bangunan berarsitektur Eropa, sementara eksotisme Asia tersaji di sisi kanan. Istana Dolmabahce yang menyerupai istana-istana di Eropa, merupakan pusat administrasi utama pada masa Kekaisaran Ottoman, berdiri megah dengan warna kuning gading. Kehadiran istana ini di tepi selat Bosphorus begitu mencuri perhatian. Ciragan Palace menjadi bangunan selanjutnya yang mampu membuat kami menahan nafas. Istana Kesultanan Utsmaniyah yang didirikan pada tahun 1863 ini kini telah beralih fungsi menjadi hotel bintang lima yang masuk dalam jaringan Hotel Kempinski. Selanjutnya Topkapi Palace yang merupakan Kesultanan Utsmaniyah yang ditempati antara tahun 1465-1853, juga Masjid Ortokay yang berada di sisi selat turut menghibur mata.

Foto : Alexander Thian

Sekumpulan burung camar terbang melintasi permukaan air, sesekali menukik tajam mengambil ikan di birunya air dengan ombak yang cukup besar. Sungguh atraksi alam yang menawan! Tak terasa perjalanan kami sudah hampir selesai. Setelah melewati Aquaduct atau jembatan air, di mana air mengalir di atasnya, kapal yang kami tumpangi pun berputar haluan. Kini dalam perjalanan pulang kembali ke dermaga, keindahan sisi Asia terlihat lebih jelas setelah sebelumnya menikmati sisi Eropa. Dua jembatan yang melintasi Bosphorus dan menghubungkan Istanbul di wilayah Asia dan Eropa sempat kami lewati. Pertama, jembatan Bosphorus yang dibangun pada masa Raja Darius (485 SM) dan terus bertumbuh hingga kini. Kedua, jembatan Sultan Mehmet Fatih atau dikenal dengan jembatan Bosphorus Dua, berdiri sejak tahun 1988.

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP