Pertunangan dan Lamaran

Ada kalanya, sepasang kekasih yang telah lama menjalin asmara, karena berbagai hal merasa belum tepat saatnya untuk melangkahkan kaki ke jenjang pernikahan. Akan tetapi mereka ingin ikatan yang telah terbentuk selama ini, menjadi lebih kuat lagi. Untuk itu, pertunangan merupakan jalan tengah yang sering diambil. Pertunangan, yang biasanya disimbolkan dengan menyematkan cincin pada jari manis tangan kiri pria maupun wanita, juga menjadi ajang pertemuan kedua belah pihak keluarga.

Berbicara mengenai tukar cincin, ritual ini sebenarnya tidak hanya dilakukan pada saat pertunangan saja. Prosesi lamaran pun biasanya disimbolkan dengan acara tukar cincin. Karena menjalani ritual yang sama, acapkali dua prosesi yang berbeda ini disalahartikan menjadi satu prosesi yang sama.

Di bawah ini akan disampaikan makna dan perbedaan di antara lamaran dan tunangan.

Tunangan
Pertunangan merupakan sebuah ikatan yang serius sebelum menapaki jenjang yang lebih serius lagi menuju pernikahan. Seperti yang sudah disebutkan, pertunangan diikat oleh cincin yang disematkan pada jari manis tangan kiri, sedangkan jari manis tangan kanan untuk cincin pernikahan.

Lamaran
Dengan ditemani kedua orang tua dan beberapa kolega, seorang pria akan datang ke rumah sang gadis pujaan untuk meminta izin kepada orang tua sang gadis agar dinikahkan. Tentu saja orang tua pihak wanita harus menanyakan kepada puterinya apakah bersedia atau tidak. Apabila setuju, penentuan hari baik untuk melangsungkan pernikahan mulai dibicarakan.

Melamar gadis dalam tradisi Aceh terdapat dua cara yaitu dengan jak keumalen/ cah roet dan jak lake jok theulangke/ jak ba ranub. Cara yang pertama yaitu jak keumalen/ cah roet dijalani selayaknya lamaran pada umumnya. Bersama keluarga, sang pria mendatangi kediaman wanita dengan membawa bingkisan yang disebut bungong jaroe yang berisi makanan. Cara yang kedua atau yang disebut jak lake jok theulangke/ jak ba ranub, memiliki keunikan dimana pihak pria mengirim utusan (theulangke) ke kediaman wanita untuk menanyakan kesediaan wanita untuk dilamar. Tidak lupa, theulangke juga membawa sirih, kue-kue dan lainnya untuk diberikan kepada keluarga sang gadis.

Dalam tradisi, tidak dicantumkan penukaran cincin oleh kedua calon mempelai. Akan tetapi seiring waktu berjalan, banyak pasangan yang melakukan tukar cincin selayaknya tunangan. Setelah lamaran, masyarakat mengartikan lamaran sama dengan pertunangan, padahal keduanya berbeda. Masa pertunangan belum mempunyai ketetapan pasti waktu pernikahan dirayakan, sementara prosesi lamaran sudah sedikit meningkat dan bayangan pernikahan sudah semakin jelas.

Teks: Mery Desianti
Foto: Adit Sastradipradja

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP