Ritual Suap-Suapan dari Berbagai Daerah

Beragam suku yang menyebar di penjuru pulau Indonesia bukan berarti hidup tanpa persamaan, meski berbeda suku terdapat benang merah yang membuktikan akar dan rumpun berasal dari induk yang sama. Seperti salah satu kultur pernikahan suap-suapan yang di beberapa daerah mempunyai prosesi serupa dengan nama yang berbeda-beda.

Dalam adat Jawa Solo, suap-suapan antara mempelai biasa disebut dengan dhahar klimah yang dilakukan setelah prosesi kacar-kucur. Kedua mempelai saling menyuapi nasi kuning bersama lauk-pauknya; irisan telur dadar, perkedel, abon, kering tempe dan sebagainya. Dan ditutup dengan memakan lauk pindang hati ayam sebagai lambang kemantapan hati kedua pengantin. Terakhir, pasangan pengantin saling memberikan minum teh atau air putih dari cangkir atau gelas.

Mempunyai sebutan yang berbeda, pernikahan adat Cirebon juga mempunyai upacara suap-suapan yang dikenal dengan adep-adep sekul (nasi ketan kuning). Sebelumnya nasi kuning telah dibentuk menjadi bulatan kecil yang berjumlah 13 butir. Suapan pertama diberikan oleh orang tua mempelai wanita yang menyuapi empat butir kepalan nasi kepada kedua mempelai. Dilanjutkan orang tua mempelai pria yang menyuapi mempelai sebagai suapan terakhir kepada anak. Sisa bulatan nasi terakhir akan menjadi rebutan kedua mempelai, siapapun yang mendapatkannya akan mendapatkan rezeki paling banyak dan harus dinikmati bersama. Sama seperti adat Solo, adep-adep sekul bermakna kemantapan hati dan menyatukan hati suami istri untuk membina rumah tangga untuk bahagia.

Huap lingkung merupakan sebutan dari ritual suap-suapan asal Sunda. Huap lingkung sendiri bermakna saling menyuapi dengan kata ‘lingkung’ yang berarti disaksikan oleh kerabat. Sama halnya dengan adat Cirebon, sebelumnya nasi punar telah dibentuk menjadi bulatan kecil di atas dua piring yang masing-masing berjumlah 7 bulatan nasi dan satu lagi 8 bulatan nasi. Orang pertama yang menyuapi adalah orang tua dari pihak wanita, dilanjutkan pihak orang tua mempelai pria yang sama-sama mengambil nasi dari piring yang berjumlah 8. Sementara piring dengan 7 bulatan nasi itu akan disuap oleh kedua mempelai dengan cara melingkarkan tangan di atas pundak sebanyak tiga kali suapan. Dan satu bulatan nasi yang tersisa akan diperebutkan oleh kedua mempelai, siapa yang mendapatkan nasi tersebut akan dibagi dua untuk dimakan sendiri dan sebagiannya diberikan kepada pasangannya. Momen ini mempunyai makna mendalam dimana rezeki yang didapatkan akan dibagi rata.

Setelah suap-suapan, ayam bakakak yaitu ayam utuh telah disiapkan untuk acara pabetot-pabetot bakakak ayam (saling menarik panggang ayam). Kedua mempelai masing-masing memegang paha ayam, siapa yang menarik lebih kuat dan mendapat bagian lebih besar bermakna bahwa dialah yang akan mendatangkan rezeki paling banyak. Bagian ayam yang paling besar tersebut lalu akan digigit oleh kedua mempelai, sebagai makna rezeki tersebut akan dinikmati bersama.

Berada di luar pulau Jawa, Palembang yang terletak di pulau Sumetera juga mempunyai adat suap-suapan yang dikenal dengan sebutan suap-suapan nasi kunyit ayam panggang. Sedikit berbeda dari adat suap-suapan pada daerah lain, suap-suapan dalam adat Palembang dilakukan hanya oleh ibu dari kedua mempelai ditambah satu kerabat lainnya. Terpenting, jumlah suapan harus ganjil seperti 3, 5, 7, atau 9. Dahulu, acara suap-suapan ini dilakukan di atas ranjang dengan disaksikan kerabat dekat saja. Tetapi kini sedikit berubah, mempelai kerap melakukannya di atas karpet agar dapat disaksikan oleh para tamu. Posisi kedua mempelai pun tidak saling berhadapan atau berdampingan, namun mempelai wanita duduk di depan mempelai pria.

Teks: Mery Desianti
Foto: Dok. Kayumanis Photography (Yunita & Yudha), Mottomo Photography (Marista & Haryo), Imotio Photography ( Ilma & Rizqi), Everglow Wedding Photography (Nadya & Arief)

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP