Riwayat Selembar Selimut Tano Batak I

Jauh sebelum mengenal tekstil buatan luar, ulos merupakan kebutuhan sandang utama orang Batak. Kain tenun yang juga memiliki arti selimut ini, kerap dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Bila dipakai para pria untuk menutupi tubuh bagian atas, ulos disebut hande-hande, ketika dikenakan di bagian bawah disebut singkot. Saat difungsikan sebagai penutup kepala dikenal sebagai tali-tali atau detar.

Selain pria, kaum perempuan juga mengenakan ulos untuk menutupi hampir keseluruhan tubuh, mulai dari batas dada hingga mendekati mata kaki, namanya haen. Sebagai penutup punggung dikenal dengan hohop-hohop. Dikenakan sebagai selendang namanya pun menjadi ampe-ampe. Dipakai sebagai penutup kepala disebut saong. Tak hanya sebagai busana, ulos juga difungsikan untuk alat menggendong anak, dikenal dengan nama parompa.

Namun tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sebab bagi masyarakat Batak, ulos memiliki arti khusus. Ia tak hanya sekedar selimut pelindung tubuh semata. Lebih dari itu, ada serangkaian petuah kehidupan yang tersirat pada setiap gurat motifnya. “Ya, ulos memang memiliki arti khusus bagi orang Batak. Setiap motifnya dipatrikan dari makna kehidupan alam sekitar,” ujar Merdi Sihombing, desainer yang sangat menaruh perhatian terhadap keberlangsungan wastra tradisional tanah air ini.

Salah satunya adalah motif Ragi Hotang atau motif rotan. Konon ada kearifan hidup yang dapat diambil sebagai wejangan hidup dari tumbuhan yang subur di hutan Sumatra ini. Tumbuhan yang menjalar dari tanah ini, kerap tumbuh membelit ranting tumbuhan lain. Uniknya belitan itu pasti akan terus tumbuh, berkeliling hingga kembali ke batang awalnya. Itu memaknai bahwa seberapa jauh perjalanan yang telah ditempuh, pada akhirnya akan selalu kembali ke asalnya. Liku kehidupan harus dihadapi dengan kuat seperti halnya rotan.

Ragam hias ulos Batak umumnya berasal dari Jaman Perunggu atau jaman kebudayaan Dongson yang datang dari Tonkin dan Annam Utara. Hal itu dapat terlihat dari hiasan nekara perunggu di jaman tersebut. "Pada upacara pernikahaan ulos pun berperan penting. Mangulosi ke dua pengantin mempunyai arti memberkati dan mempersatukan keluarga menjadi keluarga besar," jelas Merdi. Biasanya kedua pengantin diulosi oleh ayah pengantin perempuan dengan sehelai ulos ragi hotang. Diharapkan kehidupan pernikahan sepasang insan berjalan langgeng, sebab hotang atau rotan juga melambangkan kehidupan yang panjang.

Fungsi lain yang tak kalah penting ujar Merdi, selain dipakai dalam upacara adat, ulos pun dipakai untuk menari. Ulos digantungkan di bahu atau di leher silih berganti sebagai tanda penghormatan dan penghargaan. "Hal inipun menandakan sebuah persahabatan, sebagai tanda pengakuan bahwa si penerima ulos akan menjadi salah satu anggota keluarga," terang desainer yang tengah merampungkan buku berjudul Perjalanan Tenun.

Ragam Ulos

Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga ulos naso ra pipot atau pinunsaan. Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali oleh orang yang sudah saur matua atau naung gabe; orang tua yang sudah mempunyai cucu dari putra dan putrinya. Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nilainya sama dengan sitoppi, yakni emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta. Nilainya sama dengan ukuran padi dalam jumlah besar.

Ulos Ragi Hidup
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Namun tak sedikit yang beranggapan kalau ulos ragi hidup adalah yang paling tinggi nilainya, sebab pemakaiannya terbilang memasyarakat dalam upacara adat Batak. Ya, ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat menegah. Pembuatannya unik, yakni dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos Ragi Hidup.

Pada upacara perkawinan, ulos ragi hidup biasanya diberikan sebagai ulos Pansamot (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita. Motif Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti benar-benar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan.

Foto Timur Angin

LEAVE A COMMENT

BACK
TO TOP